Perempuan Kepala Keluarga Makin Terjepit Karena Covid-19
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 18:22 WIB
Baca juga: 6.198 Anak di Jatim Jadi Yatim Piatu Akibat COVID-19
Bagai jatuh tertimpa tangga, ponsel yang biasa digunakan keluarga itu rusak. Padahal, anaknya membutuhkan peranti tersebut untuk bersekolah dari rumah. Haryati terpaksa membobol tabungan satu-satunya demi kelancaran pendidikan anaknya.
Persoalannya, perempuan seperti Haryati kurang diakui statusnya sebagai kepala keluarga. Berbagai program bantuan sosial kerap tidak memasukkan mereka dalam daftar penerima. Beban lebih berat di ditanggung oleh perempuan disabilitas yang menjadi kepala keluarga.
"Akses mereka makin kecil terhadap informasi, bantuan sosial, dan vaksin," kata Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu. Dengan akses informasi yang kurang inklusif dan layanan publik yang tak setara gender, membuat perempuan disabilitas itu makin susah di masa PPKM.
Menurut Villa, pangkal masalahnya ada pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan itu hanya mengakui suami alias laki-laki sebagai kepala keluarga, sementara perempuan hanya diakui sebagai ibu rumah tangga. Selama 47 tahun sejak aturan itu berlaku, keberadaan perempuan kepala keluarga dianggap tidak lazim. Harusnya, tak ada pembakuan kepala keluarga dalam relasi perkawinan.
Baca juga: Dampak Pandemi, 20.887 Anak Indonesia Jadi Yatim Piatu
Sebenarnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, memberikan peluang pengakuan legal bagi perempuan jika mengajukan perubahan status kepala keluarga dalam kartu keluarga. Namun banyak yang belum mengajukan perubahan status kepala keluarga.
Di sisi lain, budaya yang berkembang di masyarakat masih kental mengakui hanya laki-laki sebagai kepala keluarga. Saat ada rapat atau pengambilan keputusan bersama di tengah lingkungan masyarakat, perempuan kepala keluarga tidak dilibatkan. Dalam pendataan bantuan, mereka kerap luput. Imbasnya, peluang mereka mendapat bantuan atau program sosial semakin kecil.
Haryati juga mengalaminya. Saat bantuan pandemi bermunculan, pengurus warga hanya meminta data ibu tunggal itu. Walau tercatat sebagai kepala keluarga, namun Haryati tak dilibatkan dalam keputusan siapa yang berhak menerima bantuan. Alhasil, bantuan yang diharapkan tak kunjung menghampiri Haryati.
Bagai jatuh tertimpa tangga, ponsel yang biasa digunakan keluarga itu rusak. Padahal, anaknya membutuhkan peranti tersebut untuk bersekolah dari rumah. Haryati terpaksa membobol tabungan satu-satunya demi kelancaran pendidikan anaknya.
Persoalannya, perempuan seperti Haryati kurang diakui statusnya sebagai kepala keluarga. Berbagai program bantuan sosial kerap tidak memasukkan mereka dalam daftar penerima. Beban lebih berat di ditanggung oleh perempuan disabilitas yang menjadi kepala keluarga.
"Akses mereka makin kecil terhadap informasi, bantuan sosial, dan vaksin," kata Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu. Dengan akses informasi yang kurang inklusif dan layanan publik yang tak setara gender, membuat perempuan disabilitas itu makin susah di masa PPKM.
Menurut Villa, pangkal masalahnya ada pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan itu hanya mengakui suami alias laki-laki sebagai kepala keluarga, sementara perempuan hanya diakui sebagai ibu rumah tangga. Selama 47 tahun sejak aturan itu berlaku, keberadaan perempuan kepala keluarga dianggap tidak lazim. Harusnya, tak ada pembakuan kepala keluarga dalam relasi perkawinan.
Baca juga: Dampak Pandemi, 20.887 Anak Indonesia Jadi Yatim Piatu
Sebenarnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, memberikan peluang pengakuan legal bagi perempuan jika mengajukan perubahan status kepala keluarga dalam kartu keluarga. Namun banyak yang belum mengajukan perubahan status kepala keluarga.
Di sisi lain, budaya yang berkembang di masyarakat masih kental mengakui hanya laki-laki sebagai kepala keluarga. Saat ada rapat atau pengambilan keputusan bersama di tengah lingkungan masyarakat, perempuan kepala keluarga tidak dilibatkan. Dalam pendataan bantuan, mereka kerap luput. Imbasnya, peluang mereka mendapat bantuan atau program sosial semakin kecil.
Haryati juga mengalaminya. Saat bantuan pandemi bermunculan, pengurus warga hanya meminta data ibu tunggal itu. Walau tercatat sebagai kepala keluarga, namun Haryati tak dilibatkan dalam keputusan siapa yang berhak menerima bantuan. Alhasil, bantuan yang diharapkan tak kunjung menghampiri Haryati.
tulis komentar anda