Kontras Desak Pemerintah Hentikan Penghilangan Orang Secara Paksa
Selasa, 02 Juni 2020 - 02:52 WIB
JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyerukan agar praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa harus dihentikan. Hal ini dikemukakan sekaligus memperingati Pekan Penghilangan orang secara Paksa yang berlangsung sejak 24 Mei hingga 30 Mei 2020.
(Baca juga: Sebanyak 333.415 Spesimen Diperiksa untuk Temukan Kasus Positif Covid-19)
KontraS bersama dengan seluruh anggota AFAD (The Asian Federation Against Involuntary Disappearances) mendesak agar negara-negara di Asia berkomitmen penuh dalam menghentikan kejahatan tersebut. Sebaliknya, mereka juga meminta agar mengembalikan para korban serta memenuhi hak korban atas kebenaran dan keadilan.
(Baca juga: New Normal di Daerah Disesuaikan Hasil Kajian Epidemiologi Covid-19)
Koordinator KontraS Yati Andriyani mengungkapkan, praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa telah banyak terjadi dan berulang di Indonesia. Mulai dari tragedi 1965-1966, Tanjung Priok 1986, Tragedi Talangsari 1989, okupasi Timor Timur, penculikan aktivis pro demokrasi 1997-1998, DOM Aceh hinga pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
"Semua peristiwa tersebut tidak ada penyelesaian yang adil hingga hari ini. Para korban yang dihilangkan tidak dikembalikan, kebenaran tidak diungkap, dan akuntabilitas keadilan masih terus diingkari negara. Impunitas semakin akut, para terduga pelaku diberikan ruang dalam lingkar pemerintahan," cetus Yati dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/6/2020).
Ia menilai, pemerintah masih saja mangkir atas janjinya untuk meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa (International Convention on Protection of All Peoples from Enforced Disappearances). Setelah 10 tahun sejak 2010, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Martin Natalegawa menandatangani Konvensi tersebut.
"Sampai saat ini pemerintah tidak juga meratifikasi konvensi. Aturan dan instrumen hukum yang jelas dan spesifik mengenai penghilangan orang secara paksa sangat diperlukan, termasuk dengan meratifikasi konvensi ini," terang dia.
Padahal lanjut Yati, konvensi itu menjamin ketidakberulangan peristiwa dan perlindungan bagi setiap orang dari penghilangan paksa. Selain itu, kesepakatan tersebut juga bentuk komitmen pemerintah di tingkat internasional untuk menghentikan seluruh praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa di dunia.
"Kami juga mengingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk terus menunda kewajiban memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban penghilangan paksa," celetuknya.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo melaksanakan rekomendasi Pansus Orang Hilang yang dibentuk oleh DPR pada 2009 secara menyeluruh. Isinya yaitu membentuk Pengadilan HAM ad hoc, melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Kemudian, memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Yati juga meminta pemerintah agar segera mempercepat proses pembahasan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa. Dalam kaitan itu, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM harus proaktif mendorong pembahasan tersebut di DPR.
(Baca juga: Sebanyak 333.415 Spesimen Diperiksa untuk Temukan Kasus Positif Covid-19)
KontraS bersama dengan seluruh anggota AFAD (The Asian Federation Against Involuntary Disappearances) mendesak agar negara-negara di Asia berkomitmen penuh dalam menghentikan kejahatan tersebut. Sebaliknya, mereka juga meminta agar mengembalikan para korban serta memenuhi hak korban atas kebenaran dan keadilan.
(Baca juga: New Normal di Daerah Disesuaikan Hasil Kajian Epidemiologi Covid-19)
Koordinator KontraS Yati Andriyani mengungkapkan, praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa telah banyak terjadi dan berulang di Indonesia. Mulai dari tragedi 1965-1966, Tanjung Priok 1986, Tragedi Talangsari 1989, okupasi Timor Timur, penculikan aktivis pro demokrasi 1997-1998, DOM Aceh hinga pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
"Semua peristiwa tersebut tidak ada penyelesaian yang adil hingga hari ini. Para korban yang dihilangkan tidak dikembalikan, kebenaran tidak diungkap, dan akuntabilitas keadilan masih terus diingkari negara. Impunitas semakin akut, para terduga pelaku diberikan ruang dalam lingkar pemerintahan," cetus Yati dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/6/2020).
Ia menilai, pemerintah masih saja mangkir atas janjinya untuk meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa (International Convention on Protection of All Peoples from Enforced Disappearances). Setelah 10 tahun sejak 2010, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Martin Natalegawa menandatangani Konvensi tersebut.
"Sampai saat ini pemerintah tidak juga meratifikasi konvensi. Aturan dan instrumen hukum yang jelas dan spesifik mengenai penghilangan orang secara paksa sangat diperlukan, termasuk dengan meratifikasi konvensi ini," terang dia.
Padahal lanjut Yati, konvensi itu menjamin ketidakberulangan peristiwa dan perlindungan bagi setiap orang dari penghilangan paksa. Selain itu, kesepakatan tersebut juga bentuk komitmen pemerintah di tingkat internasional untuk menghentikan seluruh praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa di dunia.
"Kami juga mengingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk terus menunda kewajiban memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban penghilangan paksa," celetuknya.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo melaksanakan rekomendasi Pansus Orang Hilang yang dibentuk oleh DPR pada 2009 secara menyeluruh. Isinya yaitu membentuk Pengadilan HAM ad hoc, melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Kemudian, memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Yati juga meminta pemerintah agar segera mempercepat proses pembahasan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa. Dalam kaitan itu, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM harus proaktif mendorong pembahasan tersebut di DPR.
(maf)
tulis komentar anda