Memahami Protes Petani Tembakau
Sabtu, 11 September 2021 - 17:09 WIB
Hasan Aoni
Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) 2011-2019
PETANI tembakau awal September lalu mengajukan keberatan atas rencana kenaikan cukai rokok pada 2022. Bagaimana mengaitkan keberatan mereka dengan rencana kenaikan tersebut? Tulisan ini mencoba memotret hubungan itu.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada akhir Agustus lalu menyatakan rencana kenaikan tarif cukai rokok sebesar 11,9%. Kenaikan itu untuk mendongkrak target penerimaan cukai pada 2022 sebesar Rp.203,92 triliun.
Pada kesempatan yang sama Menkeu merilis, pendapatan cukai rokok hingga Juli 2021 sebesar Rp.12,7 triliun atau tumbuh 18,4% secara tahunan (yoy). Sebaliknya, produksi rokok naik sebesar 26,47 miliar batang atau tumbuh sangat rendah 2,8% yoy (cnbcindonesia, 25/8/21). Target penerimaan cukai dari sektor rokok pada 2021 sebesar Rp.173,78 triliun.
Sebagai menteri yang bertugas menghimpun penerimaan, capaian tersebut menggembirakan. Sebaliknya, bagi petani tembakau, pertumbuhan itu menguatirkan. Dengan pertumbuhan produksi yang sangat rendah, rencana kenaikan cukai rokok pada 2022 akan memicu penurunan produksi rokok lebih terjun lagi.
Mengacu laporan tahunan Bea dan Cukai sampai Mei 2021, produksi rokok mengalami penurunan hingga minus 4,306% atau setara 5.525 milyar batang. Data ini menarik dianalisis dibanding laporan Juni maupun Juli 2021, karena lebih mewakili gambaran riil produksi di kuartal kedua (Q2) 2021.
Kenaikan produksi rokok sebesar 1,91% secara tahunan pada Juni 2021, misalnya, terjadi karena terdongkrak oleh kebijakan relaksasi pembayaran pita cukai akibat pandemi yang diatur dalam PMK No. 93/2021.
Nah, mari kita hitung tingkat signifikansi penurunan -4,306% itu dengan besaran tembakau dan luasan lahan.
Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) 2011-2019
PETANI tembakau awal September lalu mengajukan keberatan atas rencana kenaikan cukai rokok pada 2022. Bagaimana mengaitkan keberatan mereka dengan rencana kenaikan tersebut? Tulisan ini mencoba memotret hubungan itu.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada akhir Agustus lalu menyatakan rencana kenaikan tarif cukai rokok sebesar 11,9%. Kenaikan itu untuk mendongkrak target penerimaan cukai pada 2022 sebesar Rp.203,92 triliun.
Pada kesempatan yang sama Menkeu merilis, pendapatan cukai rokok hingga Juli 2021 sebesar Rp.12,7 triliun atau tumbuh 18,4% secara tahunan (yoy). Sebaliknya, produksi rokok naik sebesar 26,47 miliar batang atau tumbuh sangat rendah 2,8% yoy (cnbcindonesia, 25/8/21). Target penerimaan cukai dari sektor rokok pada 2021 sebesar Rp.173,78 triliun.
Sebagai menteri yang bertugas menghimpun penerimaan, capaian tersebut menggembirakan. Sebaliknya, bagi petani tembakau, pertumbuhan itu menguatirkan. Dengan pertumbuhan produksi yang sangat rendah, rencana kenaikan cukai rokok pada 2022 akan memicu penurunan produksi rokok lebih terjun lagi.
Mengacu laporan tahunan Bea dan Cukai sampai Mei 2021, produksi rokok mengalami penurunan hingga minus 4,306% atau setara 5.525 milyar batang. Data ini menarik dianalisis dibanding laporan Juni maupun Juli 2021, karena lebih mewakili gambaran riil produksi di kuartal kedua (Q2) 2021.
Kenaikan produksi rokok sebesar 1,91% secara tahunan pada Juni 2021, misalnya, terjadi karena terdongkrak oleh kebijakan relaksasi pembayaran pita cukai akibat pandemi yang diatur dalam PMK No. 93/2021.
Nah, mari kita hitung tingkat signifikansi penurunan -4,306% itu dengan besaran tembakau dan luasan lahan.
tulis komentar anda