Taliban dan Terorisme di Indonesia
Selasa, 07 September 2021 - 06:10 WIB
Merujuk pada sejumlah literatur, seperti penekanan Bruce Hoffman (2006) yang menjelaskan bahwa karakteristik Taliban meski mempraktikkan keagamaan secara kaku, namun tidak berupaya menyebarkan ide dan gagasan Talibanisme-nya ke negara lain, kecuali ke Pakistan, karena memang ada banyak warga Afganistan yang menetap di dekat perbatasan kedua negara. Tujuan dari Taliban pun, lanjut Hoffman, masih berorientasi pada pembebasan Afghanistan dari penjajahan dan pengaruh asing. Bahkan pasca-Osama bin Laden tewas, Taliban tidak lagi menerima kombatan asing kecuali semata-mata untuk membantu perjuangan mereka. Hal ini berbeda dengan kelahiran awal Taliban yang dianggap menjadi tempat pelatihan kelompok terorisme dari banyak negara.
Dengan kata lain, dalam perspektif penulis, kemenangan Taliban bagi Indonesia lebih pada kemungkinan adanya perubahan peta dan pendekatan aksi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme dan terorisme. Era ISIS bisa dikatakan akan meredup dan cenderung kemungkinan bergeser dari gerakan global kembali ke penekanan gerakan yang berbasis pada karakter kewilayahan, dalam hal ini kelompok JI dan New-JI lebih mendapatkan momentum untuk menegaskan posisi kemenangan tersebut.
Perubahan peta dan pendekatan kelompok radikalisme dan terorisme di Indonesia ada pada lima hal. Pertama, pergeseran dari gerakan radikal dan terorisme global ke basis wilayah dengan karakteristik masing-masing. Kelompok eks NII, kemudian JI dan New-JI kemungkinan akan cenderung diuntungkan terkait dengan kemenangan Taliban tersebut.
Kedua, akan ada migrasi dan perubahan orientasi baik dari individu maupun sempalan kelompok radikalisme dan terorisme dengan meninggalkan orientasi ISIS dan menyesuaikan dengan karakter kewilayahaan. Hal ini pernah terjadi juga saat sejumlah sempalan dari NII bergabung ke JI, lalu sejumlah sempalan dan individu JI bergabung dan berbaiat ke ISIS.
Ketiga, pendanaan kelompok radikalisme dan terorisme juga cenderung akan berubah. Penggalangan dana secara bertahap akan lebih banyak diperuntukkan kepada kelompok-kelompok yang ada di Tanah Air daripada untuk kelompok di luar Indonesia.
Keempat, upaya untuk mengirimkan para kombatan jihad ke luar ngeri akan secara bertahap berkurang dan digantikan dengan pemanfaatan sumber daya dan wilayah yang ada saat ini. Paling jauh pengiriman pelatihan para kombatan akan dilakukan ke Filipina selatan yang dalam klaim JI maupun New-JI masuk dalam teritorial mereka.
Kelima, menguatnya karakter sayap politik dari kelompok-kelompok radikalisme dan terorisme di Indonesia. Apakah nanti bergabung atau menyusup ke partai-partai politik yang ada atau bahkan belajar secara autodidak.
Belajar dari kemenangan Taliban edisi pertama, karena lama berperang, sentuhan politiknya tidak cukup diperhatikan. Karena itu kesan kaku dan keras menjadi warna yang sulit ditanggalkan oleh pimpinan Taliban. Namun pada kemenangan edisi kedua ini Taliban jauh lebih bisa melakukan negosiasi dan lentur khas politisi dalam menyikapi dinamika politik yang berkembang.
Dengan kata lain, dalam perspektif penulis, kemenangan Taliban bagi Indonesia lebih pada kemungkinan adanya perubahan peta dan pendekatan aksi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme dan terorisme. Era ISIS bisa dikatakan akan meredup dan cenderung kemungkinan bergeser dari gerakan global kembali ke penekanan gerakan yang berbasis pada karakter kewilayahan, dalam hal ini kelompok JI dan New-JI lebih mendapatkan momentum untuk menegaskan posisi kemenangan tersebut.
Perubahan peta dan pendekatan kelompok radikalisme dan terorisme di Indonesia ada pada lima hal. Pertama, pergeseran dari gerakan radikal dan terorisme global ke basis wilayah dengan karakteristik masing-masing. Kelompok eks NII, kemudian JI dan New-JI kemungkinan akan cenderung diuntungkan terkait dengan kemenangan Taliban tersebut.
Kedua, akan ada migrasi dan perubahan orientasi baik dari individu maupun sempalan kelompok radikalisme dan terorisme dengan meninggalkan orientasi ISIS dan menyesuaikan dengan karakter kewilayahaan. Hal ini pernah terjadi juga saat sejumlah sempalan dari NII bergabung ke JI, lalu sejumlah sempalan dan individu JI bergabung dan berbaiat ke ISIS.
Ketiga, pendanaan kelompok radikalisme dan terorisme juga cenderung akan berubah. Penggalangan dana secara bertahap akan lebih banyak diperuntukkan kepada kelompok-kelompok yang ada di Tanah Air daripada untuk kelompok di luar Indonesia.
Keempat, upaya untuk mengirimkan para kombatan jihad ke luar ngeri akan secara bertahap berkurang dan digantikan dengan pemanfaatan sumber daya dan wilayah yang ada saat ini. Paling jauh pengiriman pelatihan para kombatan akan dilakukan ke Filipina selatan yang dalam klaim JI maupun New-JI masuk dalam teritorial mereka.
Kelima, menguatnya karakter sayap politik dari kelompok-kelompok radikalisme dan terorisme di Indonesia. Apakah nanti bergabung atau menyusup ke partai-partai politik yang ada atau bahkan belajar secara autodidak.
Belajar dari kemenangan Taliban edisi pertama, karena lama berperang, sentuhan politiknya tidak cukup diperhatikan. Karena itu kesan kaku dan keras menjadi warna yang sulit ditanggalkan oleh pimpinan Taliban. Namun pada kemenangan edisi kedua ini Taliban jauh lebih bisa melakukan negosiasi dan lentur khas politisi dalam menyikapi dinamika politik yang berkembang.
(bmm)
tulis komentar anda