Taliban dan Terorisme di Indonesia
Selasa, 07 September 2021 - 06:10 WIB
Muradi
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung
KEMENANGAN kali kedua Taliban setelah 1996 di Afghanistan terasa berbeda. Perbedaan tersebut ada pada dua hal, pertama, sikap Barat atas Taliban saat menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul. Sikap Barat jauh lebih lunak bila dibandingkan dengan saat kali pertama Taliban berkuasa pada 1996 hingga 2001. Bahkan kesan melunak dan cenderung pada pembiaran tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara sekutu lainnya dengan mengevakuasi warga negaranya dengan tenggat waktu yang diberikan oleh Taliban.
Kedua, sikap Taliban yang menyerang secara frontal pada sejumlah basis yang dianggap menjadi bagian dari ISIS di Afghanistan. Bahkan Taliban juga mengeksekusi sejumlah tahanan ISIS dan pemimpin ISIS wilayah Asia Selatan, Omar Khorasani, di sejumlah rumah tahanan di Afganistan, khususnya Kabul. Bentrokan antara Taliban dan ISIS terjadi sejak 2015 hingga saat ini. Posisi Taliban yang berseberangan dengan ISIS ini menjadi penegas bahwa Taliban berbeda dengan ISIS.
Rasa yang berbeda dari kemenangan Taliban ini bukan tanpa sebab. Perjanjian perdamaian antara Taliban dan Amerika Serikat di Doha, Qatar, pada Februari 2020 lalu menjadi penegas bahwa secara kebijakan politik, keduanya telah menurunkan tensi ketegangan. Bukan tanpa sebab Amerika Serikat selama ini anti-bernegoisasi dengan organisasi yang masuk dalam daftar terorisme. Apalagi perjanjian damai Taliban dan Amerika Serikat itu juga dilakukan saat Pemerintah Afghanistan yang sah tidak dilibatkan dalam prosesnya. Hal ini menegaskan bahwa secara kelembagaan, Taliban memiliki daya tawar politik yang jauh lebih besar daripada Pemerintah Afghanistan yang sah.
Langkah politik Amerika Serikat yang melunak ini bisa jadi juga karena Taliban sebagai oganisasi telah jauh berubah dan memiliki karakter yang tidak merongrong kewibawaan Barat bila dibandingkan dengan Taliban pada 1996 hingga 2001. Saat itu Taliban cenderung anti-Barat dan bersekutu dengan Al-Qaeda, dengan melindungi pimpinan Al-Qaeda ketika itu, Osama bin Laden. Karakter yang melunak inilah yang membuat posisi sejumlah organisasi teror yang menjadikan Barat sebagai musuh bersama menjadi tidak lagi relevan. Apalagi secara organisatoris, Taliban adalah gerakan nasionalis yang dibungkus dengan keagamaan, yang tidak berupaya melakukan ekspansi ideologi untuk diperluas ke negara lain. Kesalahan utama Taliban pada kemenangan pertamanya pada 1996-2001 adalah melindungi Osama bin Laden dan dianggap bersekutu dengan Al-Qaeda. Inilah yang menjadi pembelajaran penting Taliban pada fase kedua kemenangannya setelah 20 tahun.
Pengaruh ke Indonesia
Dalam konteks Indonesia, kemenangan kedua Taliban juga membawa pengaruh yang serius terhadap peta gerakan radikalisme dan terorisme. Ada euforia membingungkan di sejumlah organisasi terorisme di Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) yang dianggap memiliki hubungan psikologis dengan Taliban, karena banyak anggotanya adalah mantan kombatan di Afghanistan atau setidaknya, berlatih di negara tersebut dan berinteraksi dengan sejumlah faksi Taliban, menganggap bahwa kemenangan Taliban adalah bagian penting dari comeback-nya JI dengan label “New-JI”. Selanjutnya kelompok lain seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS lebih mencermati kemenangan Taliban sebagai titik balik gerakan pendirian negara Islam. Sementara bagian penting dari pecahan JI seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) maupun pecahannya, Jamaah Ansharut Syariah (JAS), memiliki euforia yang kurang lebih sama.
Kekhawatiran terkait dengan kemenangan Taliban adalah menguatnya semangat gerakan radikalisme di Indonesia, bahkan bisa lebih jauh dari itu. Pada konteks ini memang ada kesan mengeneralisasi kemenangan Taliban sebagai kemenangan radikalisme atau lebih jauh dari itu adalah kemenangan terorisme. Penekanan ini tidak salah, hanya memang itu terlalu jauh sehingga ada kesan seolah kemenangan Taliban adalah bangkitnya kembali kemenangan kelompok fundamentalisme Islam, yang akan menguatkan gerakan radikalisme dan terorisme di banyak negara, termasuk Indonesia.
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung
KEMENANGAN kali kedua Taliban setelah 1996 di Afghanistan terasa berbeda. Perbedaan tersebut ada pada dua hal, pertama, sikap Barat atas Taliban saat menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul. Sikap Barat jauh lebih lunak bila dibandingkan dengan saat kali pertama Taliban berkuasa pada 1996 hingga 2001. Bahkan kesan melunak dan cenderung pada pembiaran tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara sekutu lainnya dengan mengevakuasi warga negaranya dengan tenggat waktu yang diberikan oleh Taliban.
Kedua, sikap Taliban yang menyerang secara frontal pada sejumlah basis yang dianggap menjadi bagian dari ISIS di Afghanistan. Bahkan Taliban juga mengeksekusi sejumlah tahanan ISIS dan pemimpin ISIS wilayah Asia Selatan, Omar Khorasani, di sejumlah rumah tahanan di Afganistan, khususnya Kabul. Bentrokan antara Taliban dan ISIS terjadi sejak 2015 hingga saat ini. Posisi Taliban yang berseberangan dengan ISIS ini menjadi penegas bahwa Taliban berbeda dengan ISIS.
Rasa yang berbeda dari kemenangan Taliban ini bukan tanpa sebab. Perjanjian perdamaian antara Taliban dan Amerika Serikat di Doha, Qatar, pada Februari 2020 lalu menjadi penegas bahwa secara kebijakan politik, keduanya telah menurunkan tensi ketegangan. Bukan tanpa sebab Amerika Serikat selama ini anti-bernegoisasi dengan organisasi yang masuk dalam daftar terorisme. Apalagi perjanjian damai Taliban dan Amerika Serikat itu juga dilakukan saat Pemerintah Afghanistan yang sah tidak dilibatkan dalam prosesnya. Hal ini menegaskan bahwa secara kelembagaan, Taliban memiliki daya tawar politik yang jauh lebih besar daripada Pemerintah Afghanistan yang sah.
Langkah politik Amerika Serikat yang melunak ini bisa jadi juga karena Taliban sebagai oganisasi telah jauh berubah dan memiliki karakter yang tidak merongrong kewibawaan Barat bila dibandingkan dengan Taliban pada 1996 hingga 2001. Saat itu Taliban cenderung anti-Barat dan bersekutu dengan Al-Qaeda, dengan melindungi pimpinan Al-Qaeda ketika itu, Osama bin Laden. Karakter yang melunak inilah yang membuat posisi sejumlah organisasi teror yang menjadikan Barat sebagai musuh bersama menjadi tidak lagi relevan. Apalagi secara organisatoris, Taliban adalah gerakan nasionalis yang dibungkus dengan keagamaan, yang tidak berupaya melakukan ekspansi ideologi untuk diperluas ke negara lain. Kesalahan utama Taliban pada kemenangan pertamanya pada 1996-2001 adalah melindungi Osama bin Laden dan dianggap bersekutu dengan Al-Qaeda. Inilah yang menjadi pembelajaran penting Taliban pada fase kedua kemenangannya setelah 20 tahun.
Pengaruh ke Indonesia
Dalam konteks Indonesia, kemenangan kedua Taliban juga membawa pengaruh yang serius terhadap peta gerakan radikalisme dan terorisme. Ada euforia membingungkan di sejumlah organisasi terorisme di Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) yang dianggap memiliki hubungan psikologis dengan Taliban, karena banyak anggotanya adalah mantan kombatan di Afghanistan atau setidaknya, berlatih di negara tersebut dan berinteraksi dengan sejumlah faksi Taliban, menganggap bahwa kemenangan Taliban adalah bagian penting dari comeback-nya JI dengan label “New-JI”. Selanjutnya kelompok lain seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS lebih mencermati kemenangan Taliban sebagai titik balik gerakan pendirian negara Islam. Sementara bagian penting dari pecahan JI seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) maupun pecahannya, Jamaah Ansharut Syariah (JAS), memiliki euforia yang kurang lebih sama.
Kekhawatiran terkait dengan kemenangan Taliban adalah menguatnya semangat gerakan radikalisme di Indonesia, bahkan bisa lebih jauh dari itu. Pada konteks ini memang ada kesan mengeneralisasi kemenangan Taliban sebagai kemenangan radikalisme atau lebih jauh dari itu adalah kemenangan terorisme. Penekanan ini tidak salah, hanya memang itu terlalu jauh sehingga ada kesan seolah kemenangan Taliban adalah bangkitnya kembali kemenangan kelompok fundamentalisme Islam, yang akan menguatkan gerakan radikalisme dan terorisme di banyak negara, termasuk Indonesia.
tulis komentar anda