Kehendak Buta Sang Teroris
Jum'at, 27 Agustus 2021 - 13:56 WIB
Toto TIS Suparto
Penulis Filsafat Moral
KETIKA publik memelototi angka-angka kasus pandemic Covid-19, ada angka lain yang nyaris tenggelam. Luput dari perhatian publik. Padahal ancamannya terhadap negeri ini juga serius. Angka dimaksud adalah jumlah terduga teroris yang belakangan ini ditangkapi aparat negara.
Tim Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap sejumlah terduga teroris setelah sebelumnya sebanyak 48 orang diamankan terhitung sejak operasi pada 12 Agustus sampai dengan 15 Agustus 2021. Total ada 53 terduga teroris. Angka yang mengkhawatirkan.
Jika mereka benar teroris, maka fakta ini menunjukkan bahwa "terorisme susah mati". Satu sisi sama-sama berupaya memberangus terorisme, pada sisi lain terorisme tumbuh sejalan dengan kehendak buta para pelakunya. Susah untuk benar-benar mati. Selama masih ada "kehendak buta” sang teroris, selama itu pula terorisme masih akan mewarnai dunia.
“Kehendak buta” bisa ditelisik dengan pandangan filsafat moral. Kehendak buta itu menunjukkan sikap pesimistis. Sikap inilah yang tumbuh di kalangan teroris. Entah di luarnya tampak baik hati, tak banyak omong, atau penyendiri, mereka umumnya adalah orang-orang pesimistis.
Sikap ini dibongkar dari pemikiran filsuf asal Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang juga ternyata tipikal orang pesimistis. Pesimisme Schopenhauer begini; hakikat manusia bukanlah terdapat dalam kesadaran dan akal budi, tetapi justru didorong dengan kehendak buta yang irasional serta tidak sadar. Kehendak buta ini nyaris tak berujung dan membuat seseorang tak pernah puas. Kehendak buta yang tidak mampu memuaskan itu menimbulkan frustrasi, bahkan penderitaan berkepanjangan. Maka dari itu hidup positif (versi ajaran Schopenhauer) adalah penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya kebahagiaan itu palsu, sesuatu yang negatif. Kesinambungan dari penderitaan di dunia ini adalah kematian. Pada akhirnya, hakiki kebahagiaan adalah kematian itu sendiri. Pandangan ini agak aneh bagi orang kebanyakan. Kita justru sebaliknya, hidup positif adalah kebahagiaan. Kita rasional, tetapi mereka yang pesimistis itu cenderung irrasional.
Bisa lihat para teroris itu, persis seperti pemikiran Schopenhauer; pesimistis yang berawal dari ketidakrasionalan mereka. Hidup mereka diselimuti pesimistis, entah disebabkan persoalan kebebasan berideologi atau himpitan ekonomi. Kehendak buta yang tidak pernah memuaskan itu membuat mereka memilih kematian untuk memetik kebahagiaan. Ini bisa dilihat pada kasus terorisme selama ini. Berondongan peluru bagi lone wolf adalah kebahagiaan. Tubuh terurai tak berbentuk karena bom bunuh diri juga merupakan kebahagiaan. Tak rasional bukan? Mereka mengingkari akal budi.
Akal budi menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Buya Hamka dalam bukunya mengutip pepatah Melayu yang berbunyi: “Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya. Maksudnya jelas, seutas tali mampu mengendalikan binatang agar tidak bertindak yang membahayakan. Namun untuk manusia, bukan seutas tali, tetapi akal yang digunakan untuk mengendalikan diri sendiri. Akal itu dimanfaatkan untuk berpikir.
Penulis Filsafat Moral
KETIKA publik memelototi angka-angka kasus pandemic Covid-19, ada angka lain yang nyaris tenggelam. Luput dari perhatian publik. Padahal ancamannya terhadap negeri ini juga serius. Angka dimaksud adalah jumlah terduga teroris yang belakangan ini ditangkapi aparat negara.
Tim Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap sejumlah terduga teroris setelah sebelumnya sebanyak 48 orang diamankan terhitung sejak operasi pada 12 Agustus sampai dengan 15 Agustus 2021. Total ada 53 terduga teroris. Angka yang mengkhawatirkan.
Jika mereka benar teroris, maka fakta ini menunjukkan bahwa "terorisme susah mati". Satu sisi sama-sama berupaya memberangus terorisme, pada sisi lain terorisme tumbuh sejalan dengan kehendak buta para pelakunya. Susah untuk benar-benar mati. Selama masih ada "kehendak buta” sang teroris, selama itu pula terorisme masih akan mewarnai dunia.
“Kehendak buta” bisa ditelisik dengan pandangan filsafat moral. Kehendak buta itu menunjukkan sikap pesimistis. Sikap inilah yang tumbuh di kalangan teroris. Entah di luarnya tampak baik hati, tak banyak omong, atau penyendiri, mereka umumnya adalah orang-orang pesimistis.
Sikap ini dibongkar dari pemikiran filsuf asal Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang juga ternyata tipikal orang pesimistis. Pesimisme Schopenhauer begini; hakikat manusia bukanlah terdapat dalam kesadaran dan akal budi, tetapi justru didorong dengan kehendak buta yang irasional serta tidak sadar. Kehendak buta ini nyaris tak berujung dan membuat seseorang tak pernah puas. Kehendak buta yang tidak mampu memuaskan itu menimbulkan frustrasi, bahkan penderitaan berkepanjangan. Maka dari itu hidup positif (versi ajaran Schopenhauer) adalah penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya kebahagiaan itu palsu, sesuatu yang negatif. Kesinambungan dari penderitaan di dunia ini adalah kematian. Pada akhirnya, hakiki kebahagiaan adalah kematian itu sendiri. Pandangan ini agak aneh bagi orang kebanyakan. Kita justru sebaliknya, hidup positif adalah kebahagiaan. Kita rasional, tetapi mereka yang pesimistis itu cenderung irrasional.
Bisa lihat para teroris itu, persis seperti pemikiran Schopenhauer; pesimistis yang berawal dari ketidakrasionalan mereka. Hidup mereka diselimuti pesimistis, entah disebabkan persoalan kebebasan berideologi atau himpitan ekonomi. Kehendak buta yang tidak pernah memuaskan itu membuat mereka memilih kematian untuk memetik kebahagiaan. Ini bisa dilihat pada kasus terorisme selama ini. Berondongan peluru bagi lone wolf adalah kebahagiaan. Tubuh terurai tak berbentuk karena bom bunuh diri juga merupakan kebahagiaan. Tak rasional bukan? Mereka mengingkari akal budi.
Akal budi menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Buya Hamka dalam bukunya mengutip pepatah Melayu yang berbunyi: “Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya. Maksudnya jelas, seutas tali mampu mengendalikan binatang agar tidak bertindak yang membahayakan. Namun untuk manusia, bukan seutas tali, tetapi akal yang digunakan untuk mengendalikan diri sendiri. Akal itu dimanfaatkan untuk berpikir.
tulis komentar anda