Kehendak Buta Sang Teroris
Jum'at, 27 Agustus 2021 - 13:56 WIB
Oleh karena itu banyak yang bilang orang-orang tanpa akal budi akan bertindak mirip hewan. Ini yang dikenal manusia adalah animal rationale, hewan yang berakal budi. Maka, kalau akal budinya tergerus, manusia pun menjelma jadi hewan. Main srudak-sruduk tanpa berpikir panjang. Dia menjadi tidak memahami dirinya sehingga perbuatannya nyaris di luar kontrolnya. Atau dikontrol oleh pihak lain. Bukankah teroris acap dianggap bertindak di luar kontrol? Srudak-sruduk sekehendak dirinya?
Pesimistis teroris ini dipertegas oleh para pengkaji terorisme, Mozarth (2006) di antaranya, yang memaparkan sudut pandang sindrom, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis.
Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang dilakukan oleh kelompok lain. Kemudian muncul teori lain bahwa terorisme merupakan upaya memenuhi kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil.
Atas dasar pemaparan ajaran Schopenhauer yang dilengkapi teori lain, maka menjadi salah satu jawaban mengapa terorisme "patah tumbuh hilang berganti". Sejarah terorisme akan terus berlanjut, apalagi di negeri yang majemuk ini.
Tugas bersama adalah mendorong generasi muda berlatih untuk berpijak pada kesadaran refleksif guna memeroleh pilihan ideal dalam bertindak. Kesadaran refleksif membuat seseorang bertindak dengan berpikir, berjarak dan memaknai setiap tindakannya. Orang berkesadaran refleksif senantiasa memikirkan makna tindakannya, apakah tindakan ini bermanfaat atau mudharat bagi orang lain? Untuk mewujudkan berkesadaran refleksif memang harus diasah terus menerus. Dilatih tiada henti. Sampai keutamaan moral itu terwujud. Lewat cara inilah kehendak buta bisa dikurangi.
Pesimistis teroris ini dipertegas oleh para pengkaji terorisme, Mozarth (2006) di antaranya, yang memaparkan sudut pandang sindrom, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis.
Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang dilakukan oleh kelompok lain. Kemudian muncul teori lain bahwa terorisme merupakan upaya memenuhi kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil.
Atas dasar pemaparan ajaran Schopenhauer yang dilengkapi teori lain, maka menjadi salah satu jawaban mengapa terorisme "patah tumbuh hilang berganti". Sejarah terorisme akan terus berlanjut, apalagi di negeri yang majemuk ini.
Tugas bersama adalah mendorong generasi muda berlatih untuk berpijak pada kesadaran refleksif guna memeroleh pilihan ideal dalam bertindak. Kesadaran refleksif membuat seseorang bertindak dengan berpikir, berjarak dan memaknai setiap tindakannya. Orang berkesadaran refleksif senantiasa memikirkan makna tindakannya, apakah tindakan ini bermanfaat atau mudharat bagi orang lain? Untuk mewujudkan berkesadaran refleksif memang harus diasah terus menerus. Dilatih tiada henti. Sampai keutamaan moral itu terwujud. Lewat cara inilah kehendak buta bisa dikurangi.
(bmm)
tulis komentar anda