TB Simatupang, Tentara Intelektual yang Diolok-olok sebagai Diplomat Kesasar
Senin, 16 Agustus 2021 - 05:09 WIB
Terkait dengan perjuangan fisik, renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948 kemudian ia tuturkan kembali dalam buku, Laporan dari Banaran: “Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik sedang kita akan lulus dalam ujian ini?”.
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan mengatakan: “Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?” Kenyataannya Yogya jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya bersama Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang sering diolok-olok sebagai “diplomat kesasar” karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya ketika ia menjadi penasihat militer dalam perundingan Kaliurang dan pakaian itulah yang menempel di tubuhnya ketika berangkat gerilya.
Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan sebagai “loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan AH Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda pandangan dengan Bung Karno.
Perselisihan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke Istana dan meminta Presiden membubarkan Parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.
Simatupang bisa jadi merupakan salah satu nama yang tidak disukai oleh Presiden Sukarno hingga akhir dia menjabat. Ditengarai peristiwa itu membuat Sang Proklamator marah besar kepada TB Simatupang.
Melansir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, ini lantaran TB Simatupang menolak memenuhi permintaan Sukarno untuk memecat Kolonel AH Nasution yang pada Juli 1952 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). TB Simatupang menilai itu akan jadi preseden buruk di masa depan jika seorang Presiden bisa seenaknya memecat atau mengangkat seseorang di tubuh militer.
Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir pencoptan dirinya dan dengan dihapuskannya jabatan KSAP pada 1954. Dia lalu ditunjuk sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum menjadi Penasihat Militer, Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar namun ditolaknya.
Simatupang memanfaatkan waktunya selama lima tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari dinas militer untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang ia berikan di kedua sekolah tersebut, kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan berjudul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan mengatakan: “Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?” Kenyataannya Yogya jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya bersama Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang sering diolok-olok sebagai “diplomat kesasar” karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya ketika ia menjadi penasihat militer dalam perundingan Kaliurang dan pakaian itulah yang menempel di tubuhnya ketika berangkat gerilya.
Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan sebagai “loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan AH Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda pandangan dengan Bung Karno.
Perselisihan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke Istana dan meminta Presiden membubarkan Parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.
Simatupang bisa jadi merupakan salah satu nama yang tidak disukai oleh Presiden Sukarno hingga akhir dia menjabat. Ditengarai peristiwa itu membuat Sang Proklamator marah besar kepada TB Simatupang.
Melansir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, ini lantaran TB Simatupang menolak memenuhi permintaan Sukarno untuk memecat Kolonel AH Nasution yang pada Juli 1952 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). TB Simatupang menilai itu akan jadi preseden buruk di masa depan jika seorang Presiden bisa seenaknya memecat atau mengangkat seseorang di tubuh militer.
Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir pencoptan dirinya dan dengan dihapuskannya jabatan KSAP pada 1954. Dia lalu ditunjuk sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum menjadi Penasihat Militer, Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar namun ditolaknya.
Simatupang memanfaatkan waktunya selama lima tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari dinas militer untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang ia berikan di kedua sekolah tersebut, kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan berjudul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).
Lihat Juga :
tulis komentar anda