PP No 75 dan Konflik Kekuasaan di UI

Senin, 26 Juli 2021 - 16:26 WIB
Rangkap Jabatan Rektor

Dalam statuta PP No 68/2013 larangan bagi rektor dan wakil yang dinyatakan dalam Pasal 35, adalah, “pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Sedangkan dalam PP No 75/2021 larangan bagi rektor dan wakil rektor adalah “direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”.

Larangan bagi rektor dan wakil rektor menurut statuta berdasarkan PP No 68/2013 adalah menjadi pejabat pada BUMN dan BUMD maupun swasta. Pejabat yang disebut dalam statuta tidak jelas diamanatkan kepada jabatan apa. Kalau hal ini dilihat dari UU Perseroan, maka akan ada yang menganggap bahwa dewan komisaris itu bukan pejabat, karena tugas mereka adalah sebagai pengawas dan penasehat dalam kegiatan perusahaan.

Hal tersebut dapat dibaca dari ketentuan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kepailitan, sepanjang dapat membuktikan tidak ada kesalahan atau kelalaian, sudah melakukan pegawasan dengan iktikad baik, tidak mempunyai kepentingan pribadi, dan telah memberikan nasehat untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Dalam hal PP 75/2021, larangan terhadap rektor dan wakil rektor itu sangat tegas yaitu menjadi direksi. Karena kalau dilihat UU Perseroan, direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Dengan demikian sebenarnya Pasal 39 huruf c PP No 75/2021, adalah mengatur lebih jelas larangan terhadap rektor atau wakil rektor yang juga diberi beban atau mendapat beban melakukan pekerjaan lain selain sebagai rektor dan wakil rektor.

Tentu tidak ada yang salah dengan adanya penegasan larangan terhadap rektor dan wakil rektor yang diamanatkan oleh PP No 75/2021, karena ketentuan ini lebih memberi kepastian hukum.

Kewenangan Dewan Guru Besar

Ada empat P tentang Statuta Universitas Negeri sebagai BHMN yang dikeluarkan pada 2013. PP No 65 Statuta Institut Teknologi Bandung, PP No 66 Statuta Institut Pertanian Bogor, PP 67 Statuta Universitas Gadjah Mada, dan PP 68 Statuta Universitas Indonesia.

Dalam beberapa statuta, hanya pada Statuta Institut Pertanian Bogor dan Statuta Universitas Indonesia, yang memberikan kedudukan khusus kepada dewan guru besar sebagai organ dari perguruan tinggi. Dalam Statuta ITB, dewan guru besar hanya menjadi forum yang dibentuk oleh senat akademik.

Sedangkan dalam Statuta IPB, guru besar sebagai organ menjalankan pengembangan keilmuan, dan pengembangan budaya akademik. Dalam Statuta Universitas Gadjah Mada, dikatakan, “DGB adalah perangkat UGM yang berfungsi sebagai pemberi nasihat, penjaga integritas moral dan etika sivitas akademika serta mengembangkan pemikiran dan pandangan terkait dengan isu strategis nasional dan/atau internasional dalam rangka mendukung peran dan kontribusi UGM bagi kesejahteraan bangsa dan umat manusia”.

Akan tetapi dalam Statuta Universitas Indonesia, selain sebagai organ Universitas Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 41, memberikan kekuasaan yang besar kepada dewan guru besar. Antara lain dikatakan “tugas dan kewajiban”, “melakukan penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh rektor; memberikan pertimbangan/masukan kepada rektor dalam penyusunan dan/atau perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik”.

Generasi Statuta berikutnya PP No 30/2014, Statuta Universitas Airlangga yang tidak menyebut keberadaan dari dewan guru besar. Sedangkan PP No 53/2015 Statuta Universitas Hasanudin, disebut sebagai dewan profesor yang dikatakan sebagai perangkat Senat Akademik. Adapun PP No 54/2015 Statuta Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dewan profesor dinyatakan sebagai perangkat dari senat akademik.

Konflik terbuka antara pejabat di UI ini bukan sesuatu yang baru. Kita bisa lihat ketika konflik yang keras bahkan “saling pecat” antara MWA dan rektor di tahun 2011 dan 2012. Konflik yang sekarang terjadi di UI, bukan hanya karena adanya rangkap jabatan rektor yang menjadi wakil komisaris, akan tetapi tidak terlepas dari konflik antara rektor dan mantan wakil rektor yang mendapat “dukungan” dari sejumlah guru besar dan dewan guru besar. Tentu saja dapat diduga hal ini semakin panas karena hilangnya “tugas dan kewajiban” strategis dari dewan guru besar yang bisa menjangkau dan mempersoalkan kebijakan yang bukan terkait dengan pengembangan keilmuan di UI.

Terkait dengan pengangkatan guru besar, adalah merupakan kekeliruan yang besar, kalau ada yang menyatakan bahwa kewenangan dan mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, sebagai kewenangan dari dewan guru besar. Karena menurut Pasal 50 ayat (4) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, “..penetapan jenjang jabatan fungsional ditentukan oleh setiap satuan Pendidikan tinggi..”. Tentu maksudnya adalah pimpinan Satuan Pendidikan Tinggi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Rektor.

Dengan membaca delapan Statuta Universitas yang ada seperti dikemukakan di atas, dan kemudian memeperbandingkan bagian isi dari Statuta No 68 /013 dengan Statuta No 75/2021, maka perubahan satuta tersebut harus dibaca sebagai upaya meluruskan banyak hal terkait kewenangan yang selama ini tumpang tindih dan meluruskan ketentuan sesuai dengan undang-undang di UI.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More