Ibu Kota Baru Dinilai Harus Benar-benar Perhatikan Politik-Ekonomi
Minggu, 18 Juli 2021 - 13:23 WIB
"Progres pembahasan IKN di DPR ini baru sampai pada tahap memasukan RUU IKN baru ke dalam Prolegnas 2021, namun pemerintah secara resmi belum mengajukan kepada DPR, naskah akademik, surpres dan dokumen lainnya belum diserahkan," ujar anggota DPR RI dapil NTB ini.
Ia menambahkan, pemindahan Ibu Kota baru ini selain bermasalah dalam proses legalitasnya, juga bermasalah dalam hal legitimasinya. Menurutnya, aspek legitimasi ini sangat penting karena Ibu Kota menjadi simbol negara.
Ia mempertanyakan sejauh mana masyarakat Indonesia mengingingkan pemindahan Ibu Kota ini. "Dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara ini tidak hanya urusan legalitas, namun juga aspek legitimasinya, sejauh mana rakyat Indonesia menginginkan pemindahan Ibu Kota Negara ini," sambung SJP.
Selain itu, SJP juga menyoroti permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Menurutnya, pemindahan Ibu Kota Negara bukan menjadi solusi permasalahan ekonomi dan tidak memiliki kolerasi terhadap pertumbuhan ekonomil.
"Kita melihat pemindahan ibu kota saat ini bukan menjadi solusi permasalahan ekonomi malah akan menjadi beban ekonomi. Pemindahan ibu kota ini dapat menghabiskan 490 T, bagaimana kita mengeluarkan anggaran 100T unutk membangun ibu kota baru," pungkas SJP.
Sementara Direktur Eksekutif Rujak for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, dalam kesempatan yang sama menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jawa ke Kalimantan.
Menurutnya, pandemi membuat pola kerja berubah. Ini membuat sektor-sektor tertentu bisa dikerjakan secara remote dari rumah, sehingga mobilitas dari dan ke Jakarta akan berkurang.
"Kalau kita melihat bagaimana kita hidup di kota. Sejak satu setengah tahun kebelakang ini karena pandemi, terlebih di pekerjaan tertentu. Itu memungkinkan model kerja yang lain. Ini membuat sektor-sektor tertentu bisa dikerjakan secara remote, sehingga mobilitas dari dan ke Jakarta akan berkurang. Lalu mengapa harus pindah Ibu Kota?" ujar Elisa di Webinar Seri 2 TIDI
Selain itu, Elisa juga memberikan pendapat mengenai kesan yang disampaikan oleh Bappenas maupun perencananya, yaitu kota itu terbentuk setelah bangunnnya selesai.
Padahal tidak demikian, karena Jakarta sebagai bisa benar-benar sebagai kota setelah usinya sudah empat abad lebih. Begitupun dengan Washington DC baru bisa merasakan menjadi kota setelah 1 abad.
Ia menambahkan, pemindahan Ibu Kota baru ini selain bermasalah dalam proses legalitasnya, juga bermasalah dalam hal legitimasinya. Menurutnya, aspek legitimasi ini sangat penting karena Ibu Kota menjadi simbol negara.
Ia mempertanyakan sejauh mana masyarakat Indonesia mengingingkan pemindahan Ibu Kota ini. "Dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara ini tidak hanya urusan legalitas, namun juga aspek legitimasinya, sejauh mana rakyat Indonesia menginginkan pemindahan Ibu Kota Negara ini," sambung SJP.
Selain itu, SJP juga menyoroti permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Menurutnya, pemindahan Ibu Kota Negara bukan menjadi solusi permasalahan ekonomi dan tidak memiliki kolerasi terhadap pertumbuhan ekonomil.
"Kita melihat pemindahan ibu kota saat ini bukan menjadi solusi permasalahan ekonomi malah akan menjadi beban ekonomi. Pemindahan ibu kota ini dapat menghabiskan 490 T, bagaimana kita mengeluarkan anggaran 100T unutk membangun ibu kota baru," pungkas SJP.
Sementara Direktur Eksekutif Rujak for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, dalam kesempatan yang sama menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jawa ke Kalimantan.
Menurutnya, pandemi membuat pola kerja berubah. Ini membuat sektor-sektor tertentu bisa dikerjakan secara remote dari rumah, sehingga mobilitas dari dan ke Jakarta akan berkurang.
"Kalau kita melihat bagaimana kita hidup di kota. Sejak satu setengah tahun kebelakang ini karena pandemi, terlebih di pekerjaan tertentu. Itu memungkinkan model kerja yang lain. Ini membuat sektor-sektor tertentu bisa dikerjakan secara remote, sehingga mobilitas dari dan ke Jakarta akan berkurang. Lalu mengapa harus pindah Ibu Kota?" ujar Elisa di Webinar Seri 2 TIDI
Selain itu, Elisa juga memberikan pendapat mengenai kesan yang disampaikan oleh Bappenas maupun perencananya, yaitu kota itu terbentuk setelah bangunnnya selesai.
Padahal tidak demikian, karena Jakarta sebagai bisa benar-benar sebagai kota setelah usinya sudah empat abad lebih. Begitupun dengan Washington DC baru bisa merasakan menjadi kota setelah 1 abad.
Lihat Juga :
tulis komentar anda