Akuakultur Sebagai Lokomotif Ekonomi Indonesia

Senin, 12 Juli 2021 - 10:55 WIB
Akuakultur Sebagai Lokomotif Ekonomi Indonesia
Oleh

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Ketua Umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia)

Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2010 – 2014; dan 2019 – 2024)

Hingga 2019 (sebelum pandemi covid-19) Indonesia masih berstatus sebagai negara berpendapatan-menengah atas dengan Pendapatan Nasional Kotor (PNK) perkapita 4.050 dolar AS. Suatu negara dinobatkan sebagai negara makmur (high-income country), bila PNK perkapitanya lebih besar dari 12.535 dolar AS (Bank Dunia, 2019). Angka kemiskinan pun masih tinggi, sekitar 30 juta orang (10,2% total penduduk) berdasarkan pada garis kemiskinan BPS (2020) sebesar Rp 460.000/orang/bulan, atau 100 juta orang (37%) menurut garis kemiskinan internasional sebesar 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan (Bank Dunia, 2020). Untuk lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan menjadi negara maju dan makmur pada 2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diatas 7% per tahun. Selain itu, sebagaimana pengalaman keberhasilan Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan China; Indonesia juga mesti membangun sejumlah industri strategis. Yakni jenis-jenis industri yang dapat menghasilkan nilai tambah, banyak tenaga kerja, forward- and backward-linkages dan multiplier effects yang luas.



Selain makanan dan minuman, perkebunan, ESDM, tekstil, otomotif, dan elektronik sebagai industri strategis nasional sejak awal 1980-an, industri kelautan dan perikanan, khususnya aquaculture (perikanan budidaya) diyakini bisa menjadi industri strategis nasional yang mampu menghasilkan nilai tambah, banyak lapangan kerja, forward- and backward-linkages yang besar, dan multiplier effects yang luas. Lebih dari itu, karena basis dari industri akuakultur adalah SDA terbarukan, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh industri ini pun niscaya akan berkelanjutan (sustainable). Karena sebagian besar aktivitas akuakultur berlangsung di wilayah pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan luar Jawa; maka industri ini bakal mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa, Desa vs Kota) yang merupakan salah satu permasalahan khronis bangsa.

Potensi Ekonomi Akuakultur

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang 75% wilayahnya berupa laut, dan 28% wilayah daratnya pun berupa ekosistem perairan (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa); Indonesia memiliki potensi produksi lestari akuakultur terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton/tahun (FAO, 2014). Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China. Pada 2019 total produksi akuakultur – RI mencapai 16,3 juta ton (13,5% total produksi dunia), dimana 9,9 juta ton berupa rumput laut. Sementara produksi akuakultur China di tahun yang sama mencapai 68,4 juta ton (57% produksi dunia). Dan, produksi akuakultur India (peringkat-3 dunia) sebesar 7,8 juta ton (6,5% produksi global).

Sebagai ilustrasi betapa fantastisnya potensi ekonomi akuakultur Indonesia adalah 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu mengembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (intensif-moderat), maka akan dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap tahunnya. Dengan harga udang saat ini 5 dolar AS/kg, maka nilai ekonomi langsungnya sebesar 100 milyar dolar AS/tahun atau sekitar 10% PDB saat ini. Keuntungan bersihnya rata-rata Rp 45 juta/ha/bulan. Artinya, jika mulai tahun depan sampai 2024 kita buka usaha 100.000 tambak udang Vaname setiap tahunnya, maka dari udang saja bisa menyumbangkan 2 persen pertumbuhan ekonomi per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun bagi akuakultur Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Kesempatan kerja langsung (on farm) yang bisa diciptakan dari 500.000 ha tambak udang itu sekitar 2 juta orang, dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang. Padahal, banyak sekali komoditas akuakultur lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti udang windu, kerapu, kepiting, lobster, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More