Di FGD Unair, Ketua DPD RI Bicara Pentingnya Koreksi Frasa Kalimat pada Pasal Konstitusi
Kamis, 08 Juli 2021 - 19:47 WIB
Adanya aturan ambang batas capres dianggap menutup peluang kader partai politik kecil untuk tampil di gelanggang pilpres karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres. Apalagi, disebutkan LaNyalla, dalil bahwa presidential threshold dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
"Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir," sebutnya.
Menurut LaNyalla, berkongsi dalam politik memang sesuatu yang lumrah. Namun akan menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendisain hanya agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolah-olah berseteru.
"Aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan."
Mantan Ketua Umum PSSI ini juga menyinggung mengenai peluang calon presiden dan calon wakil presiden perorangan, atau dari kalangan non-partai. LaNyalla mengatakan, DPD RI berikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan capres-cawapres.
"Disebut memulihkan, karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi," tuturnya.
LaNyalla mengingatkan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum amandemen UUD 1945. Saat itu MPR terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Hal tersebut berarti baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.
"DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata LaNyalla.
DPD pun dinilai memiliki legitimasi yang kuat karena posisi DPD RI dan Utusan Daerah memiliki perbedaan dari sisi keterpilihan. Bila Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
"Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat dan mandat langsung dari rakyat," tegasnya.
"Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir," sebutnya.
Menurut LaNyalla, berkongsi dalam politik memang sesuatu yang lumrah. Namun akan menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendisain hanya agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolah-olah berseteru.
"Aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan."
Mantan Ketua Umum PSSI ini juga menyinggung mengenai peluang calon presiden dan calon wakil presiden perorangan, atau dari kalangan non-partai. LaNyalla mengatakan, DPD RI berikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan capres-cawapres.
"Disebut memulihkan, karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi," tuturnya.
LaNyalla mengingatkan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum amandemen UUD 1945. Saat itu MPR terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Hal tersebut berarti baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.
"DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata LaNyalla.
DPD pun dinilai memiliki legitimasi yang kuat karena posisi DPD RI dan Utusan Daerah memiliki perbedaan dari sisi keterpilihan. Bila Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
"Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat dan mandat langsung dari rakyat," tegasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda