Persatuan Umat Islam, Sebuah Keniscayaan

Senin, 21 Juni 2021 - 06:55 WIB
Persatuan Umat Islam, Sebuah Keniscayaan
Syaiful Huda

Aktivis Politik

Ketua DPW PKB Jawa Barat

Posisi mayoritas Umat Islam saat ini masih sebatas angka. Kekuatan mayoritas Islam belum menjadi alat kontrol efektif bagi tersalurkannya aspirasi dan jaminan akomodasi kepentingan umat dalam perumusan kebijakan negara. Kekuatan mayoritas Islam masih terfragmen dalam berbagai kekuatan politik yang saling mengunci.

Bersatunya kekuatan Islam dalam politik kerap dianggap sebagai kemustahilan. Perbedaan paham keagamaan, egoisme antarelit, hingga perbedaan akses sosio-ekonomi antarkelompok dalam menjadi faktor fundamental ringkihnya kekuatan politik Islam. Faktor ini kerap dimanfaatkan oleh kelompok eksternal untuk tetap membonsai kekuatan politik Islam. Ujungnya, kekuatan-kekuatan politik Islam hanya sekadar pelengkap atau aksesioris saja dalam perumusan kebijakan negara. Dominasi kekuatan oligarki yang begitu dominan dewasa ini menjadi cerminan betapa tak berdayanya kekuatan politik Islam menghadapi bersatunya modal dan kekuasaan dalam menentukan arah kebijakan negara.



Di masa lalu bersatunya kekuatan Islam tercermin dalam pembentukan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada Bulan September 1937. Saat itu kaum modernis maupun kaum tradisionalis dua paham keagamaan dominan Islam di Indonesia mencoba menyingkirkan berbagai perbedaan untuk membangun aliansi politik yang kuat. MIAI merupakan gagasan KH Wahab Chasbullah dari Nahdlatul Ulama (NU), Mas Mansoer dari Muhammadiyah, dan W Wondoamiseno dari Syarikat Islam (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerjasama di antara umat Islam. Dalam praktiknya NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggung dari MIAI. Lebih dari separoh anggota MIAI merupakan kader NU dan Muhammadiyah.

Eksistensi MIAI saat itu begitu diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. MIAI menjadi corong pertama dalam menyuarakan berbagai kepentingan umat Islam. MIAI bersuara kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam. Kebijakan tersebut di antaranya regulasi tentang pengetatan Pengajaran Agama (Guru Ordonnantie, 1925), Perubahan Undang-Undang Perkawinan yang seolah melarang poligami, aturan wajib militer bagi umat muslim, hingga diskriminasi alokasi anggaran pendidikan bagi sekolah Islam. Selain itu MIAI juga melawan kebijakan pemerintah pada saat itu yang mengizinkan perusahaan-perusahaan dengan modal besar merambah sektor UMKM yang menjadi mata pencaharian sebagian besar umat Islam.

Persatuan umat Islam juga tampak kuat dalam pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). NU dan Muhammadiyah kembali menjadi tulang punggung. Berdiri di tahun 1943 sebagai organisasi masyarakat, Masyumi mampu mengembangkan jaringan organisasi hingga ke pelosok nusantara, menyemai rasa cinta tanah air, hingga mampu merekrut banyak milisi untuk melawan penjajah. KH Wahid Hasyim memegang peran penting saat itu. Mewakili ayahnya KH Hasyim Asyari dalam memimpin Masyumi, KH Wahid Hasyim bersama-sama KH Wahab Hasbullah, KH Farid Ma’ruf, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Moh Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan tokoh Islam lainnya bahu-membahu melapangkan jalan dalam meraih Kemerdekaan RI.

Pasca Kemerdekaan, Masyumi resmi menjadi partai politik di tahun 1946, seiring era multipartai di Indonesia. Eksistensi Partai Masyumi saat itu begitu berpengaruh dalam konstelasi politik nasional. Sebagai satu-satunya partai politik Islam berulangkali Masyumi berhasil menempatkan kader-kader terbaiknya dalam posisi strategis pemerintahan parlementer. Posisi Perdana Menteri, Menteri Agama, bahkan Menteri Pertahanan dengan mudah diduduki oleh kader-kader Masyumi. Namun seiring dengan perbedaan cara pandang dalam pengelolaan partai, serta menguatnya kembali sentiment paham keagamaan yang dibawa oleh anak-anak muda terjadi perpecahan mendalam di tubuh Masyumi. NU sebagai kekuatan utama akhirnya menyatakan keluar dari Masyumi disusul beberapa organ lain. Dalam Pemilu 1955, kekuatan politik Islam kembali terpecah-pecah sehingga kalah dari partai politik berhaluan nasionalis. Sejak saat itu kekuatan politik umat Islam terus pecah, dipecah, hingga dibonsai sehingga terus lemah dan terpinggirkan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More