Sudahi Informasi Hoaks Seputar Pembatalan Haji
Selasa, 08 Juni 2021 - 05:51 WIB
Prihatin rasanya dalam beberapa hari terakhir, kita dijejali informasi tak valid seputar pembatalan haji yang bertebaran di mana-mana. Tak sekadar di media sosial (medsos), informasi yang mengarah ke hoaks ini juga banyak dikutip oleh sejumlah media.
Dalam bingkai keterbukaan informasi, sajian teks, gambar atau infografis seputar pembatalan haji itu sah-sah saja. Namun sejatinya, terbuka saja tidak cukup. Di era digital ini, orang memang diberi kebebasan menyampaikan informasi atau pendapat, tapi tidak ada kebebasan yang mutlak.
Informasi yang disebarkan harus valid sehingga imbasnya tidak menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Wajar kiranya, untuk membentengi itu, muncul regulasi seperti Undang-Undang No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ketidakvalidan itu antara lain terpotret pada informasi seputar kegagalan penyelenggaraan haji ini lantaran pemerintah Indonesia masih memiliki utang ke Arab Saudi, uang haji diselewengkan, Indonesia tak dapat kuota haji, pertama kalinya dalam sejarah RI tak berangkat haji, diplomasi lemah dan lain sebagainya. Sejumlah orang sudah menyadari akan keteledorannya ini, seperti Haikal Hassan yang kemudian menyampaikan permintaan maaf. Yang dilakukan Haikal ini sebenarnya ironis. Sebab dia memiliki cukup banyak pengikut.
Di luar Haikal Hassan, masih banyak yang intens menyebarkan kabar palsu ini tanpa disertai proses tabayyun (klarifikasi). Pun jika menengok ranah jagat maya, kita bisa melihat seolah informasi hoaks ini sengaja diamplifikasi oleh sekelompok pihak tertentu. Indikasi ini bisa dilihat seperti pada indeks trending topic, most popular news dan sebagainya.
Kita sedih sekaligus prihatin dengan fenomena ini. Sedih karena para penyebar ini sejatinya paham bahwa informasi yang disebarkan adalah palsu. Prihatin karena dari ulah mereka, dampak yang ditimbulkan begitu luas. Tak sekadar aspek sosial. Pada level tertentu, informasi hoaks berbahaya bagi ketahanan dan keamanan bangsa.
Munculnya berita hoaks ini sangat kita sesalkan. Di tengah ujian besar bangsa dan dunia ini menghadapi wabah Covid-19, semestinya yang dikedepankan adalah sikap saling menghargai, membantu dan bersinergis. Tanpa itu, kita akan menjadi manusia yang kerdil. Cara berpikir picik apalagi ego sektoral jelas berbahaya karena menggerogoti keutuhan bangsa.
Pada tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) memang telah membatalkan lagi keberangkatan haji. Pilihan ini, seperti dikatakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memang pahit, namun harus diambil. Soal pilihan ini dianggap tepat atau tidak memang itu debatable. Namun tentu langkah Kemenag tidak sembrono. Apalagi di belakang keputusan penting ini ada nasib jutaan calon jamaah haji, termasuk yang antreannya harus bertambah panjang.
Di luar persiapan seperti melakukan sejumlah skenario pemberangkatan, Kemenag sudah melakukan rapat rutin dengan DPR, MUI, tokoh masyarakat, asosiasi travel dan diplomasi kenegaraan sebelum mencetuskan pilihan ini. Dan ketika pilihan batal diambil, itu hakikatnya rumusan terbaik dari proses diskursif yang berjalan panjang. Dan, di atas segala alasan yang menyertainya, keselamatan jiwa calon jamaah haji kita adalah menjadi segalanya. Berangkat haji tentu tak sekadar bertolak ke Tanah Suci untuk menjalankan dari sisi syariat. Namun di dalamnya juga ada hal teknis yang tak bisa dianggap enteng. Apalagi, dengan waktu yang kian mepet saat ini. Mudarat paling ringan tentu menjadi pertimbangan utamanya.
Pilihan pahit itu juga tetap diambil termasuk jika dalam perkembangannya Saudi tetap memberikan kuota haji pada RI nanti. Minggu (6/6), Menteri Media Arab Saudi Majid Al-Qasabi sudah memberi kode bahwa dalam waktu dekat keputusan soal haji akan diambil. Merespons apapun kebijakan Saudi, kita harus berpikir luas. Jangan sampai demi membangun imej diri, ormas, atau kepentingan partai politiknya, orang seenaknya berkomentar dan menyebarkan informasi tanpa dasar jelas.
Saatnya, kini semua elemen bangsa untuk sejenak berpikir. Bahwa ada tujuan yang lebih mulia dan panjang di balik keputusan pemerintah. Toh, soal uang, baik itu terkait pengembalian ke jamaah dan pengelolaan setoran sudah ditegaskan aman seperti ditegaskan Menko PMK Muhadjir Effendy, Minggu (6/6).
Namun di balik semua ini, munculnya informasi tak valid in juga patut dijadikan evaluasi. Tak hanya pemerintah seperti Kemenag dan Kementerian Luar Negeri, tapi pihak terkait haji seperti DPR, BPKH, MUI, dan ormas harus memiliki tanggung jawab yang senapas. Sebab tak sekadar seksi dari sisi informasi, haji ini juga menyangkut nasib jutaan penduduk negeri.
Dalam bingkai keterbukaan informasi, sajian teks, gambar atau infografis seputar pembatalan haji itu sah-sah saja. Namun sejatinya, terbuka saja tidak cukup. Di era digital ini, orang memang diberi kebebasan menyampaikan informasi atau pendapat, tapi tidak ada kebebasan yang mutlak.
Informasi yang disebarkan harus valid sehingga imbasnya tidak menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Wajar kiranya, untuk membentengi itu, muncul regulasi seperti Undang-Undang No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ketidakvalidan itu antara lain terpotret pada informasi seputar kegagalan penyelenggaraan haji ini lantaran pemerintah Indonesia masih memiliki utang ke Arab Saudi, uang haji diselewengkan, Indonesia tak dapat kuota haji, pertama kalinya dalam sejarah RI tak berangkat haji, diplomasi lemah dan lain sebagainya. Sejumlah orang sudah menyadari akan keteledorannya ini, seperti Haikal Hassan yang kemudian menyampaikan permintaan maaf. Yang dilakukan Haikal ini sebenarnya ironis. Sebab dia memiliki cukup banyak pengikut.
Di luar Haikal Hassan, masih banyak yang intens menyebarkan kabar palsu ini tanpa disertai proses tabayyun (klarifikasi). Pun jika menengok ranah jagat maya, kita bisa melihat seolah informasi hoaks ini sengaja diamplifikasi oleh sekelompok pihak tertentu. Indikasi ini bisa dilihat seperti pada indeks trending topic, most popular news dan sebagainya.
Kita sedih sekaligus prihatin dengan fenomena ini. Sedih karena para penyebar ini sejatinya paham bahwa informasi yang disebarkan adalah palsu. Prihatin karena dari ulah mereka, dampak yang ditimbulkan begitu luas. Tak sekadar aspek sosial. Pada level tertentu, informasi hoaks berbahaya bagi ketahanan dan keamanan bangsa.
Munculnya berita hoaks ini sangat kita sesalkan. Di tengah ujian besar bangsa dan dunia ini menghadapi wabah Covid-19, semestinya yang dikedepankan adalah sikap saling menghargai, membantu dan bersinergis. Tanpa itu, kita akan menjadi manusia yang kerdil. Cara berpikir picik apalagi ego sektoral jelas berbahaya karena menggerogoti keutuhan bangsa.
Pada tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) memang telah membatalkan lagi keberangkatan haji. Pilihan ini, seperti dikatakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memang pahit, namun harus diambil. Soal pilihan ini dianggap tepat atau tidak memang itu debatable. Namun tentu langkah Kemenag tidak sembrono. Apalagi di belakang keputusan penting ini ada nasib jutaan calon jamaah haji, termasuk yang antreannya harus bertambah panjang.
Di luar persiapan seperti melakukan sejumlah skenario pemberangkatan, Kemenag sudah melakukan rapat rutin dengan DPR, MUI, tokoh masyarakat, asosiasi travel dan diplomasi kenegaraan sebelum mencetuskan pilihan ini. Dan ketika pilihan batal diambil, itu hakikatnya rumusan terbaik dari proses diskursif yang berjalan panjang. Dan, di atas segala alasan yang menyertainya, keselamatan jiwa calon jamaah haji kita adalah menjadi segalanya. Berangkat haji tentu tak sekadar bertolak ke Tanah Suci untuk menjalankan dari sisi syariat. Namun di dalamnya juga ada hal teknis yang tak bisa dianggap enteng. Apalagi, dengan waktu yang kian mepet saat ini. Mudarat paling ringan tentu menjadi pertimbangan utamanya.
Pilihan pahit itu juga tetap diambil termasuk jika dalam perkembangannya Saudi tetap memberikan kuota haji pada RI nanti. Minggu (6/6), Menteri Media Arab Saudi Majid Al-Qasabi sudah memberi kode bahwa dalam waktu dekat keputusan soal haji akan diambil. Merespons apapun kebijakan Saudi, kita harus berpikir luas. Jangan sampai demi membangun imej diri, ormas, atau kepentingan partai politiknya, orang seenaknya berkomentar dan menyebarkan informasi tanpa dasar jelas.
Saatnya, kini semua elemen bangsa untuk sejenak berpikir. Bahwa ada tujuan yang lebih mulia dan panjang di balik keputusan pemerintah. Toh, soal uang, baik itu terkait pengembalian ke jamaah dan pengelolaan setoran sudah ditegaskan aman seperti ditegaskan Menko PMK Muhadjir Effendy, Minggu (6/6).
Namun di balik semua ini, munculnya informasi tak valid in juga patut dijadikan evaluasi. Tak hanya pemerintah seperti Kemenag dan Kementerian Luar Negeri, tapi pihak terkait haji seperti DPR, BPKH, MUI, dan ormas harus memiliki tanggung jawab yang senapas. Sebab tak sekadar seksi dari sisi informasi, haji ini juga menyangkut nasib jutaan penduduk negeri.
(ynt)
tulis komentar anda