Krisis Angka Kelahiran Ancam Dunia
Jum'at, 04 Juni 2021 - 05:49 WIB
JAKARTA - Banyak negara tengah menghadapi krisis angka kelahiran dengan ditandai anjloknya tingkat kelahiran secara drastis. Masa depan negara mereka pun dipertaruhkan.
Populasi yang menyusut menjadi masalah karena struktur usia yang terbalik, yakni jumlah orang berusia lanjut lebih banyak ketimbang usia muda. Jika itu terus terjadi, tidak akan ada cukup sumber daya manusia (SDM) di masa depan untuk mendukung para lansia. Permintaan akan layanan kesehatan dan sosial terhadap lansia pun terancam meningkat tajam.
Tingkat kesuburan mengalami penurunan bukan karena berkurangnya jumlah sperma atau hal-hal lain yang biasa disinggung dalam pembahasan fertilitas. Namun, ini karena lebih banyak perempuan yang teredukasi dan bekerja. Faktor lain adalah meluasnya akses kontrasepsi, sehingga perempuan bisa memilih untuk memiliki anak dalam jumlah lebih sedikit.
Fenomena ini antara lain terjadi di China, Jepang, dan sejumlah negara Eropa. Mereka pun mempersiapkan strategi untuk menghadapi krisis tingkat kelahiran tersebut.
China misalnya, kini memperbolehkan pasangan suami istri punya hingga tiga anak, guna mengganti kebijakan dua anak cukup. Kebijakan ini diambil setelah laporan terbaru sensus setiap 10 tahun yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di China saat ini berada di tingkat paling lambat dalam beberapa dekade terakhir.
Jepang juga sama. Bahkan, negara ini dikenal memiliki penduduk tua terbanyak di dunia, hingga populer sebagai masyarakat "super-manula" baik di urban dan perdesaan. Pada 2050, sepertiga penduduk Jepang diprediksi berusia di atas 65 tahun. Tingkat kelahiran anak yang sangat sedikit membuat pemerintah memberikan insentif bagi warganya memiliki anak. Bahkan, negara pun turun tangan menangani kencan bagi warganya.
Sebagian besar negara di Eropa pun kini menghadapi krisis demografi karena tingginya tingkat kematian dan penurunan angka kelahiran. Populasi di Eropa pun sudah menua saat ini. Alhasil, banyak negara di Benua Biru memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran.
Populasi yang menyusut menjadi masalah karena struktur usia yang terbalik, yakni jumlah orang berusia lanjut lebih banyak ketimbang usia muda. Jika itu terus terjadi, tidak akan ada cukup sumber daya manusia (SDM) di masa depan untuk mendukung para lansia. Permintaan akan layanan kesehatan dan sosial terhadap lansia pun terancam meningkat tajam.
Tingkat kesuburan mengalami penurunan bukan karena berkurangnya jumlah sperma atau hal-hal lain yang biasa disinggung dalam pembahasan fertilitas. Namun, ini karena lebih banyak perempuan yang teredukasi dan bekerja. Faktor lain adalah meluasnya akses kontrasepsi, sehingga perempuan bisa memilih untuk memiliki anak dalam jumlah lebih sedikit.
Fenomena ini antara lain terjadi di China, Jepang, dan sejumlah negara Eropa. Mereka pun mempersiapkan strategi untuk menghadapi krisis tingkat kelahiran tersebut.
China misalnya, kini memperbolehkan pasangan suami istri punya hingga tiga anak, guna mengganti kebijakan dua anak cukup. Kebijakan ini diambil setelah laporan terbaru sensus setiap 10 tahun yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di China saat ini berada di tingkat paling lambat dalam beberapa dekade terakhir.
Jepang juga sama. Bahkan, negara ini dikenal memiliki penduduk tua terbanyak di dunia, hingga populer sebagai masyarakat "super-manula" baik di urban dan perdesaan. Pada 2050, sepertiga penduduk Jepang diprediksi berusia di atas 65 tahun. Tingkat kelahiran anak yang sangat sedikit membuat pemerintah memberikan insentif bagi warganya memiliki anak. Bahkan, negara pun turun tangan menangani kencan bagi warganya.
Sebagian besar negara di Eropa pun kini menghadapi krisis demografi karena tingginya tingkat kematian dan penurunan angka kelahiran. Populasi di Eropa pun sudah menua saat ini. Alhasil, banyak negara di Benua Biru memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran.
Lihat Juga :
tulis komentar anda