Pengacara Jelaskan Beda Kasus Jumhur dengan Kasus Jerinx
Kamis, 27 Mei 2021 - 17:04 WIB
JAKARTA - Pengacara M Jumhur Hidayat dari LBH Jakarta, Oky Wiratama menyebutkan, pihaknya mendatangkan ahli hukum pidana dari Universitas Bina Nusantara Ahmad Sofyan di persidangan pada Kamis (27/5/2021) ini. Menurutnya, ajaran kausalitas itu penting untuk membuat terang kasus yang tengah dihadapi kliennya itu, sebagaimana yang disampaikan ahli di persidangan.
"Ajaran kausalitas ini akan membantu persidangan ini apakah memang hanya karena postingan terdakwa ini yang membuat keonaran. Apakah hanya karena itu? Ahli mengatakan tadi banyak faktor lain nanti biarkanlah majelis hakim yang mempertimbangkan," ujarnya kepada wartawan, Kamis (27/5/2021).
Menurutnya, sebagaimana keterangan ahli, harus dilihat faktor apa saja yang menyebabkan adanya keonaran, mengingat dalam rumusan pasal yang didakwakan Jaksa pada Jumhur merupakan delik materil. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dahulu keonarannya dan harus dibuktikan pula apakah keonaran tersebut terjadi hanya karena postingan Jumhur.
Dia menerangkan, sebagaimana penjelasan ahli, berdasarkan KBBI keonaran itu berarti huru-hara dan maksud keonaran dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 itu keonaran fisik sebagaimana landasan filosofis dan historisnya. Maka itu, Jaksa harus membuktikan ada tidaknya keonaran fisik dalam kasus kliennya itu.
"Jadi, harus dibuktikan di dalam persidangan ini, buktinya adalah saksi. Ada nggak saksi yang mengatakan bahwa saya berbuat onar karena postingan Pak Jumhur, itu maksudnya," tuturnya.
Sejauh ini, kata dia, JPU tak bisa menghadirkan saksi mahkota dalam kasus yang menjerat kliennya itu, seperti pelajar yang ditangkap dan diamankan saat ikut demo Omnibus Law UU Ciptaker. Sejauh pemahamannya, pelajar yang dipidana itu pun tak memiliki Twitter dan mereka ikut berdemo berdasarkan informasi dari Instagram, yang berbanding jauh dengan fakta kalau kliennya hanya memiliki Twitter dan tak memiliki Instagram.
Selain itu, tambahnya, ukuran rasa kebencian sebagaimana dituduhkan pada Jumhur itu berbeda-beda tiap individu, tak seperti rasa minuman bisa diukur dengan manis, asam, atau asin. Adapun rasa kebencian dalam konteks Jumhur harus dibuktikan melalui korbannya sebagaimana dikonstruksikan Jaksa, bahwa korbannya merupakan pengusaha.
"Sementara saksi kemarin dari APINDO, lalu kami juga hadirkan dari HIPMI mengatakan its okay, enggak tersinggung dengan pernyataan pengusaha rakus, enggak ada masalah. Sebagaimana ahli pidana yang mencontohkan kasus Jerinx (I Gede Ari Astina), Jerinx menyebut IDI langsung Ikatan Dokter Indonesia antek WHO atau apalah. Nah orang-orang dari IDI ini dihadirkan, tersinggung enggak? Iya saya marah, saya kesel, terbukti jelas kan," katanya.
"Ajaran kausalitas ini akan membantu persidangan ini apakah memang hanya karena postingan terdakwa ini yang membuat keonaran. Apakah hanya karena itu? Ahli mengatakan tadi banyak faktor lain nanti biarkanlah majelis hakim yang mempertimbangkan," ujarnya kepada wartawan, Kamis (27/5/2021).
Menurutnya, sebagaimana keterangan ahli, harus dilihat faktor apa saja yang menyebabkan adanya keonaran, mengingat dalam rumusan pasal yang didakwakan Jaksa pada Jumhur merupakan delik materil. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dahulu keonarannya dan harus dibuktikan pula apakah keonaran tersebut terjadi hanya karena postingan Jumhur.
Baca Juga
Dia menerangkan, sebagaimana penjelasan ahli, berdasarkan KBBI keonaran itu berarti huru-hara dan maksud keonaran dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 itu keonaran fisik sebagaimana landasan filosofis dan historisnya. Maka itu, Jaksa harus membuktikan ada tidaknya keonaran fisik dalam kasus kliennya itu.
"Jadi, harus dibuktikan di dalam persidangan ini, buktinya adalah saksi. Ada nggak saksi yang mengatakan bahwa saya berbuat onar karena postingan Pak Jumhur, itu maksudnya," tuturnya.
Sejauh ini, kata dia, JPU tak bisa menghadirkan saksi mahkota dalam kasus yang menjerat kliennya itu, seperti pelajar yang ditangkap dan diamankan saat ikut demo Omnibus Law UU Ciptaker. Sejauh pemahamannya, pelajar yang dipidana itu pun tak memiliki Twitter dan mereka ikut berdemo berdasarkan informasi dari Instagram, yang berbanding jauh dengan fakta kalau kliennya hanya memiliki Twitter dan tak memiliki Instagram.
Baca Juga
Selain itu, tambahnya, ukuran rasa kebencian sebagaimana dituduhkan pada Jumhur itu berbeda-beda tiap individu, tak seperti rasa minuman bisa diukur dengan manis, asam, atau asin. Adapun rasa kebencian dalam konteks Jumhur harus dibuktikan melalui korbannya sebagaimana dikonstruksikan Jaksa, bahwa korbannya merupakan pengusaha.
"Sementara saksi kemarin dari APINDO, lalu kami juga hadirkan dari HIPMI mengatakan its okay, enggak tersinggung dengan pernyataan pengusaha rakus, enggak ada masalah. Sebagaimana ahli pidana yang mencontohkan kasus Jerinx (I Gede Ari Astina), Jerinx menyebut IDI langsung Ikatan Dokter Indonesia antek WHO atau apalah. Nah orang-orang dari IDI ini dihadirkan, tersinggung enggak? Iya saya marah, saya kesel, terbukti jelas kan," katanya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda