Sidang Jumhur, Ahli Hukum Sebut Tidak Selamanya Menyiarkan Berita Bohong Timbulkan Keonaran
Kamis, 27 Mei 2021 - 16:38 WIB
JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang kasus dugaan penyebaran berita bohong dengan terdakwa M Jumhur Hidayat pada Kamis (27/5/2021) siang tadi. Kubu Jumhur menghadirkan saksi ahli hukum dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofyan.
Dalam persidangan, Sofyan pun menyampaikan sejumlah persoalan saat memberikan keterangan di hadapan Ketua Majelis Hakim Agus Widodo, Jaksa Penuntut Umum (JPU), penasihat hukum, dan terdakwa Jumhur. Di antaranya terkait dugaan tindak pidana penyebaran berita bohong sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE serta pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946.
"Pasal 14 itu dibuat pada masa pancaroba yang dimaksudkan untuk mempidana orang-orang yang memecah belah masyarakat Indonesia karena pada waktu itu baru saja selesai merdeka. Jadi, perbuatan-perbuatan yang menebarkan kabar bohong yang menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat itulah maksud dari pasal 14 ayat 1," ujarnya di PN Jakarta Selatan, Kamis (27/5/2022).
Dia memaparkan, selain menyebarkan berita bohong tidak dapat dipidana apabila tidak timbul keonaran, secara materil, Pasal 14 ayat 1 tidak disebutkan secara rinci tentang bentuk penyiaran yang berpotensi menimbulkan keonaran. Kegiatan menyiarkan berita bohong tidak selamanya menimbulkan keonaran.
"Menyiarkan kabar bohong tidak dipidana jika tidak timbul keonaran. Tidak ada norma yang melarang orang bohong. Yang dilarang adalah kabar bohong itu menimbulkan keonaran. Tidak selamanya menyiarkan berita bohong menimbulkan keonaran," jelasnya.
Sedangkan Pasal 14 ayat 2, kata dia, untuk mempidana perbuatan-perbuatan yang menyebarkan kabar bohong yang berpotensi menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat. Namun, pasal itu tak dimaksudkan untuk mempidana bagi yang menyebarkan informasi yang bukan menimbulkan konflik huru-hara di dalam masyarakat.
"Pasal itu juga sudah kedaluwarsa sebetulnya karena dalam UU ITE tentang menyebarkan kabar bohong itu tidak masuk dalam kategori tindak pidana, tidak ada pasal pun di dalam UU ITE yang menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran tindak pidana, tapi kabar bohong yang merugikan konsumen, nah itu yang bisa dipidana," tuturnya.
Dia menerangkan, berkaitan dengan keonaran dan kausalitas itu sejatinya hanya bisa diukur jika betul-betul timbul keonaran. Keonaran itu berarti adanya huru-hara dan konflik di antara masyarakat secara fisik. Maka itu, bila konfliknya itu bukan dalam bentuk fisik, bisa dikatakan tak masuk dalam keonaran dan pengertiannya hanya sebatas pro-kontra belaka.
"Fisik itu memang terjadi dan itu harus bisa dibuktikan karena perbuatan dari orang yang menimbulkan keonaran, di dalam keonaran itu pasti banyak faktor yang menimbulkan, bukan hanya satu-satunya faktor, jadi kausalitas itu digunakan dalam kasus ini harus bisa diperlihatkan oleh jaksa bahwa hanya perbuatan terdakwa satu-satunya yang menimbulkan keonaran," jelasnya.
Dia menambahkan, dalam kasus Jumhur itu, sejatinya keonaran timbul bila dilihat dari teori kausalitas, tak mungkin hanya karena satu faktor, tapi pasti karena banyak faktor dan faktor tersebut haruslah dipertimbangkan dan harus dihadirkan ataupun dibuktikan di dalam persidangan. Adapun ajaran kausalitas, yang melihat hanya satu faktor saja yang bisa menumbulkan keonaran itu penting dibuktikan agar tak terjadi kesesatan dalam berpikir dan dalam mengambil keputusan.
Dalam persidangan, Sofyan pun menyampaikan sejumlah persoalan saat memberikan keterangan di hadapan Ketua Majelis Hakim Agus Widodo, Jaksa Penuntut Umum (JPU), penasihat hukum, dan terdakwa Jumhur. Di antaranya terkait dugaan tindak pidana penyebaran berita bohong sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE serta pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946.
"Pasal 14 itu dibuat pada masa pancaroba yang dimaksudkan untuk mempidana orang-orang yang memecah belah masyarakat Indonesia karena pada waktu itu baru saja selesai merdeka. Jadi, perbuatan-perbuatan yang menebarkan kabar bohong yang menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat itulah maksud dari pasal 14 ayat 1," ujarnya di PN Jakarta Selatan, Kamis (27/5/2022).
Baca Juga
Dia memaparkan, selain menyebarkan berita bohong tidak dapat dipidana apabila tidak timbul keonaran, secara materil, Pasal 14 ayat 1 tidak disebutkan secara rinci tentang bentuk penyiaran yang berpotensi menimbulkan keonaran. Kegiatan menyiarkan berita bohong tidak selamanya menimbulkan keonaran.
"Menyiarkan kabar bohong tidak dipidana jika tidak timbul keonaran. Tidak ada norma yang melarang orang bohong. Yang dilarang adalah kabar bohong itu menimbulkan keonaran. Tidak selamanya menyiarkan berita bohong menimbulkan keonaran," jelasnya.
Sedangkan Pasal 14 ayat 2, kata dia, untuk mempidana perbuatan-perbuatan yang menyebarkan kabar bohong yang berpotensi menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat. Namun, pasal itu tak dimaksudkan untuk mempidana bagi yang menyebarkan informasi yang bukan menimbulkan konflik huru-hara di dalam masyarakat.
"Pasal itu juga sudah kedaluwarsa sebetulnya karena dalam UU ITE tentang menyebarkan kabar bohong itu tidak masuk dalam kategori tindak pidana, tidak ada pasal pun di dalam UU ITE yang menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran tindak pidana, tapi kabar bohong yang merugikan konsumen, nah itu yang bisa dipidana," tuturnya.
Dia menerangkan, berkaitan dengan keonaran dan kausalitas itu sejatinya hanya bisa diukur jika betul-betul timbul keonaran. Keonaran itu berarti adanya huru-hara dan konflik di antara masyarakat secara fisik. Maka itu, bila konfliknya itu bukan dalam bentuk fisik, bisa dikatakan tak masuk dalam keonaran dan pengertiannya hanya sebatas pro-kontra belaka.
"Fisik itu memang terjadi dan itu harus bisa dibuktikan karena perbuatan dari orang yang menimbulkan keonaran, di dalam keonaran itu pasti banyak faktor yang menimbulkan, bukan hanya satu-satunya faktor, jadi kausalitas itu digunakan dalam kasus ini harus bisa diperlihatkan oleh jaksa bahwa hanya perbuatan terdakwa satu-satunya yang menimbulkan keonaran," jelasnya.
Dia menambahkan, dalam kasus Jumhur itu, sejatinya keonaran timbul bila dilihat dari teori kausalitas, tak mungkin hanya karena satu faktor, tapi pasti karena banyak faktor dan faktor tersebut haruslah dipertimbangkan dan harus dihadirkan ataupun dibuktikan di dalam persidangan. Adapun ajaran kausalitas, yang melihat hanya satu faktor saja yang bisa menumbulkan keonaran itu penting dibuktikan agar tak terjadi kesesatan dalam berpikir dan dalam mengambil keputusan.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda