Pakar Hukum Sebut Lelang Aset Asabri Masuk Perkara Perdata
Senin, 17 Mei 2021 - 14:17 WIB
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal melelang sejumlah barang bukti terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Keputusan itu dilakukan Korps Adhyaksa yang enggan terbebani biaya pemeliharaan aset sitaan.
Bahkan sejumlah barang yang disita kejaksaan ditengarai banyak yang tidak terkait kasus tindak pidana korupsi yang dituduhkan. Termasuk adanya pernyataan utang piutang dan barang yang dijaminkan ke pihak ketiga. Tak ayal, upaya yang dilakukan kejaksaan dikritisi sejumlah pakar hukum di Indonesia. Salah satunya terkait mekanisme pelelangan diatur dalam Pasal 45 KUHAP.
Menurut dosen Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) Lucianus Budi Kagramanto, jika benar adanya aset sitaan masih berstatus utang piutang maupun yang tak terkait kasus tipikor, maka kejaksaan diduga melakukan kesalahan. "Pada dasarnya kasus Jiwasraya dan Asabri adalah perkara perdata, dan tidak ada unsur korupsinya. Mestinya tidak masuk peradilan Tipikor," ujar Budi di Jakarta, Senin (17/5/2021).
Dia menilai kejaksaan terlalu memaksakan. Sebab, kata Budi, kejaksaan mengetahui ada aset yang tak terkait kasus Asabri, namun dipaksakan penyitaannya hanya untuk mengejar agar sesuai dengan besaran kerugian negara. "Kalau dipaksa berarti perkara yang mestinya ditangani di pengadilan negeri salah alamat jika ditangani oleh pengadilan tipikor," ujarnya.
Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Yenti Garnasih menilai dasar hukum pelelangan di kasus Asabri tidak memadai. Dia beralasan Kejagung hanya berpatokan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam melakukan lelang. "Terlalu minim jika berpegangan pada KUHAP saja, sementara korupsi ini kan sudah di luar KUHAP. Mestinya sudah punya perangkat sendiri, KUHAP itu kan untuk mencuri biasa, pidana biasa," kata Yenti.
Yenti berpendapat aset yang masih berstatus utang dan tak terkait kasus korupsi seharusnya tidak dipermasalahkan kejaksaan. "Sepanjang harta tersebut dapat dibuktikan kepemilikannya yang bukan hasil korupsi, utangpun oke. Tapi kalau terbukti hasil korupsi tetap jadi masalah," katanya.
Menurut Yenti, pelelangan ini membutuhkan kehadiran UU Perampasan Aset sebagai payung hukum. Dia menilai selama ini pemangku kebijakan Tanah Air kurang responsif dengan kejahatan ekonomi yang kerap menjerat tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Rencana pelelangan aset sitaan Asabri dicetuskan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono. Menurut dia, mekanisme pelelangan diatur dalam Pasal 45 KUHAP. "Kan boleh Pasal 45 KUHAP, dengan biaya penyimpanan terlalu tinggi. Kita terbatas biayanya," kata Ali.
Sementara itu, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Febrie Ardiansyah proses pelelangan akan melibatkan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung. "PPA sudah koordinasi ke Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai asetnya, nanti yang lelang KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang)," jelas Febrie.
Bahkan sejumlah barang yang disita kejaksaan ditengarai banyak yang tidak terkait kasus tindak pidana korupsi yang dituduhkan. Termasuk adanya pernyataan utang piutang dan barang yang dijaminkan ke pihak ketiga. Tak ayal, upaya yang dilakukan kejaksaan dikritisi sejumlah pakar hukum di Indonesia. Salah satunya terkait mekanisme pelelangan diatur dalam Pasal 45 KUHAP.
Menurut dosen Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) Lucianus Budi Kagramanto, jika benar adanya aset sitaan masih berstatus utang piutang maupun yang tak terkait kasus tipikor, maka kejaksaan diduga melakukan kesalahan. "Pada dasarnya kasus Jiwasraya dan Asabri adalah perkara perdata, dan tidak ada unsur korupsinya. Mestinya tidak masuk peradilan Tipikor," ujar Budi di Jakarta, Senin (17/5/2021).
Dia menilai kejaksaan terlalu memaksakan. Sebab, kata Budi, kejaksaan mengetahui ada aset yang tak terkait kasus Asabri, namun dipaksakan penyitaannya hanya untuk mengejar agar sesuai dengan besaran kerugian negara. "Kalau dipaksa berarti perkara yang mestinya ditangani di pengadilan negeri salah alamat jika ditangani oleh pengadilan tipikor," ujarnya.
Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Yenti Garnasih menilai dasar hukum pelelangan di kasus Asabri tidak memadai. Dia beralasan Kejagung hanya berpatokan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam melakukan lelang. "Terlalu minim jika berpegangan pada KUHAP saja, sementara korupsi ini kan sudah di luar KUHAP. Mestinya sudah punya perangkat sendiri, KUHAP itu kan untuk mencuri biasa, pidana biasa," kata Yenti.
Yenti berpendapat aset yang masih berstatus utang dan tak terkait kasus korupsi seharusnya tidak dipermasalahkan kejaksaan. "Sepanjang harta tersebut dapat dibuktikan kepemilikannya yang bukan hasil korupsi, utangpun oke. Tapi kalau terbukti hasil korupsi tetap jadi masalah," katanya.
Menurut Yenti, pelelangan ini membutuhkan kehadiran UU Perampasan Aset sebagai payung hukum. Dia menilai selama ini pemangku kebijakan Tanah Air kurang responsif dengan kejahatan ekonomi yang kerap menjerat tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Rencana pelelangan aset sitaan Asabri dicetuskan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono. Menurut dia, mekanisme pelelangan diatur dalam Pasal 45 KUHAP. "Kan boleh Pasal 45 KUHAP, dengan biaya penyimpanan terlalu tinggi. Kita terbatas biayanya," kata Ali.
Sementara itu, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Febrie Ardiansyah proses pelelangan akan melibatkan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung. "PPA sudah koordinasi ke Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai asetnya, nanti yang lelang KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang)," jelas Febrie.
(cip)
tulis komentar anda