Korupsi dan Hukuman: Sebuah Kalkulasi
Minggu, 16 Mei 2021 - 13:43 WIB
JAKARTA - Prof Romli Atmasasmita
Pakar Hukum Pidana
Setiap kejahatan adalah kalkulasi tentang untung dan rugi; sama halnya dengan aktivitas bisnis; hampir tidak ada kejahatan tanpa kalkulasi kecuali mala prohibita atau karena gangguan jiwa. Tidak pernah ada kejahatan tanpa ada latar belakang keuntungan di baliknya; jika pun kerugian yang terjadi, itu termasuk kalkulasi risiko (hukuman) yang telah diperhitungkan sebelumnya, demikian pendapat Bentham sehingga hukuman yang berlaku merupakan felicific calculus.
Jika kejahatan merupakan suatu kalkulasi untung rugi, begitu pula hukuman adalah suatu kalkulasi tentang seberapa lama hukuman yang akan dijalani, dan seberapa lama hukuman dapat dipersingkat karena telah tersedia di di dalam UU. Jelas bahwa kejahatan dan hukuman adalah refleksi dari suatu kehendak bebas (free- will) berbasis risiko yang menimbulkan pertanyaan,apakah relevan isu efektivitas tujuan penjeraan (tobat). Hal ini digambarkan dalam anekdot, penonton hukuman gantung abad 15 yang kehilangan dompet ketika melihat seseorang digantung sampai mati.
Relevansi kejahatan dan hukuman terletak dalam dua hal, yaitu keharusan (obligation) dan keperluannya (necessity); bukan terletak pada keseimbangan (antara kejahatan dan hukuman) atau proportionality. Kedua hal tersebut dijelaskan Bentham (1883) dalam 4 (empat) masalah yaitu, groundless, inefficacious, unprofitable, dan needless.
Keempat masalah tersebut menentukan apakah hukuman merupakan suatu keharusan (should be) atau keperluan (ought to) dan antara keduanya merupakan hal yang berbeda signifikan. Perbedaan yang ditentukan oleh faktor passion yaitu strong feeling seseorang mengenai hukuman terhadap kejahatan. Dalam bahasa sederhana, passion bernuansa hati nurani dan ketertarikan (manusia) atas sesuatu hal, sedangkan obligation tidak memerlukan passion karena sesuatu yang (secara normatif) harus dilaksanakan tanpa perlu bertanya-tanya lagi.
Masalah kalkulasi dalam hal kejahatan dan hukuman sejatinya merupakan pertentangan antara rasio dan nurani, dan menjadi tugas utama hakim untuk menyelesaikannya. Dalam era globalisasi ekonomi dunia terkait korupsi dan hukuman memerlukan perubahan wawasan tentang hukum sekadar norma dan logika memasuki pendekatan relatif baru, yaitu fungsi dan peranan hukum di dalam mengawal pembangunan ekonomi yang mempertimbangkan sistem nilai dan sistem perilaku aparatnya.
Berangkat dari ketiga wawasan baru tersebut maka tujuan kemanfaatan merupakan tujuan utama. Perubahan wawasan pemberantasan korupsi tersebut merupakan perubahan mendasar tujuan awal pembentukan UU Tipikor dan UU KPK dengan jargon zero tolerance against corruption (ZTAC) yang dipandang tidak relevan lagi dengan dan bagi pembangunan ekonomi masa depan di era globalisasi. Sistem pemberantasan korupsi yang efisien dan efektif adalah membangun sinergitas koordinasi dan supervisi serta monitoring serta pengawasan antara sektoral dan antar sektoral dimana KPK merupakan pusat kendali pemberantasan korupsi sesuai dengan asas-asas dan tugas pimpinan KPK menurut UU KPK 2019.
Harapan KPK masa depan adalah suatu lembaga negara pengendali sistem pemberantasan korupsi meliputi subsistem pencegahan dan penindakan yang meliputi subsistem penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK masa depan adalah KPK yang memiliki muruah dan panutan dalam pemberantasan korupsi. Memanusiakan manusia penjahat sebagai jargon pengganti zero tolerance against corruption.
Pakar Hukum Pidana
Setiap kejahatan adalah kalkulasi tentang untung dan rugi; sama halnya dengan aktivitas bisnis; hampir tidak ada kejahatan tanpa kalkulasi kecuali mala prohibita atau karena gangguan jiwa. Tidak pernah ada kejahatan tanpa ada latar belakang keuntungan di baliknya; jika pun kerugian yang terjadi, itu termasuk kalkulasi risiko (hukuman) yang telah diperhitungkan sebelumnya, demikian pendapat Bentham sehingga hukuman yang berlaku merupakan felicific calculus.
Jika kejahatan merupakan suatu kalkulasi untung rugi, begitu pula hukuman adalah suatu kalkulasi tentang seberapa lama hukuman yang akan dijalani, dan seberapa lama hukuman dapat dipersingkat karena telah tersedia di di dalam UU. Jelas bahwa kejahatan dan hukuman adalah refleksi dari suatu kehendak bebas (free- will) berbasis risiko yang menimbulkan pertanyaan,apakah relevan isu efektivitas tujuan penjeraan (tobat). Hal ini digambarkan dalam anekdot, penonton hukuman gantung abad 15 yang kehilangan dompet ketika melihat seseorang digantung sampai mati.
Baca Juga
Relevansi kejahatan dan hukuman terletak dalam dua hal, yaitu keharusan (obligation) dan keperluannya (necessity); bukan terletak pada keseimbangan (antara kejahatan dan hukuman) atau proportionality. Kedua hal tersebut dijelaskan Bentham (1883) dalam 4 (empat) masalah yaitu, groundless, inefficacious, unprofitable, dan needless.
Keempat masalah tersebut menentukan apakah hukuman merupakan suatu keharusan (should be) atau keperluan (ought to) dan antara keduanya merupakan hal yang berbeda signifikan. Perbedaan yang ditentukan oleh faktor passion yaitu strong feeling seseorang mengenai hukuman terhadap kejahatan. Dalam bahasa sederhana, passion bernuansa hati nurani dan ketertarikan (manusia) atas sesuatu hal, sedangkan obligation tidak memerlukan passion karena sesuatu yang (secara normatif) harus dilaksanakan tanpa perlu bertanya-tanya lagi.
Masalah kalkulasi dalam hal kejahatan dan hukuman sejatinya merupakan pertentangan antara rasio dan nurani, dan menjadi tugas utama hakim untuk menyelesaikannya. Dalam era globalisasi ekonomi dunia terkait korupsi dan hukuman memerlukan perubahan wawasan tentang hukum sekadar norma dan logika memasuki pendekatan relatif baru, yaitu fungsi dan peranan hukum di dalam mengawal pembangunan ekonomi yang mempertimbangkan sistem nilai dan sistem perilaku aparatnya.
Berangkat dari ketiga wawasan baru tersebut maka tujuan kemanfaatan merupakan tujuan utama. Perubahan wawasan pemberantasan korupsi tersebut merupakan perubahan mendasar tujuan awal pembentukan UU Tipikor dan UU KPK dengan jargon zero tolerance against corruption (ZTAC) yang dipandang tidak relevan lagi dengan dan bagi pembangunan ekonomi masa depan di era globalisasi. Sistem pemberantasan korupsi yang efisien dan efektif adalah membangun sinergitas koordinasi dan supervisi serta monitoring serta pengawasan antara sektoral dan antar sektoral dimana KPK merupakan pusat kendali pemberantasan korupsi sesuai dengan asas-asas dan tugas pimpinan KPK menurut UU KPK 2019.
Harapan KPK masa depan adalah suatu lembaga negara pengendali sistem pemberantasan korupsi meliputi subsistem pencegahan dan penindakan yang meliputi subsistem penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK masa depan adalah KPK yang memiliki muruah dan panutan dalam pemberantasan korupsi. Memanusiakan manusia penjahat sebagai jargon pengganti zero tolerance against corruption.
(zik)
tulis komentar anda