Praktisi Hukum Minta Pemerintah Tinjau Ulang Rencana Kenaikan PPN
Jum'at, 14 Mei 2021 - 16:51 WIB
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai solusi meningkatkan keuangan negara yang tergerus akibat pandemi COVID-19.
Praktisi Hukum Kepailitan dan PKPU, Hendra Setiawan Boen menilai niat Kemenkeu mengerek PPN hingga 15% jelas akan menurunkan roda belanja masyarakat. Sehingga justru memberikan dampak buruk pada perekonomian yang saat ini mengalami resesi.
"Hal ini justru akan memperlambat pemulihan ekonomi. Melambatnya ekonomi akan semakin membuat Indonesia semakin sulit keluar dari resesi ekonomi," ujar Hendra dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (14/5/2021).
Dia menilai Menkeu Sri Mulyani harus turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi pelaku usaha dan masyarakat yang sudah berdarah-darah. Sehingga memaksa mereka membayar PPN lebih mahal jelas kontraproduktif. Kata dia, sudah setahun terakhir terjadi lonjakan kasus-kasus perdata, kepailitan, PKPU akibat banyak pihak, individu maupun perusahaan kesulitan keuangan.
"Sri Mulyani harus berpikir jernih dan jangan berlindung dengan alasan PPN Indonesia terendah di dunia karena jelas negara lain mempunyai masalah tersendiri sehingga melahirkan kebijakan fiskal yang belum cocok diterapkan di Indonesia," jelasnya.
Menurut Hendra, menaikan PPN jelas bukan solusi. Yang paling penting adalah menjaga konsumsi yang akan menggerakan ekonomi. Pemerintah sebaiknya tidak membuat kebijakan yang akan memukul daya beli dan menekan masyarakat.
"Pajak akan lahir otomatis dari ekonomi yang bergerak. Kalau ekonomi macet karena PPN naik juga tidak akan membantu penerimaan negara," katanya.
Dengan tujuan menaikan konsumsi oleh masyarakat tersebut, kata Hendra, justru pemerintah harus terus memberikan insentif seperti menurunkan PPN dan pajak-pajak lain untuk menjaga daya beli masyarakat. "Faktanya, kebijakan menurunkan pajak untuk properti dan kendaraan bermotor berhasil menaikkan transaksi.
"Memang dapat dipahami saat ini pemerintah sedang berusaha menekan defisit yang pada 2020 mencapai 6,09 persen dari PDB atau sebesar Rp956,3 triliun. Namun demikian, solusi menurunkan defisit tidak melulu harus memaksa masyarakat membayar pajak lebih tinggi dari yang sebelumnya," paparnya.
Pemerintah bisa menurunkan defisit dengan menurunkan pengeluaran negara. Misalnya dengan menunda proyek-proyek mercusuar dan mewah seperti membangun Ibu Kota baru. Dalam kondisi normal, lanjutnya, sangat wajar apabila pemerintah ingin membangun ibukota baru mengingat Jakarta banyak masalah yang sulit diatasi.
Kendati demikian, pada saat keuangan negara sedang seret sama sekali tidak ada urgensi karena kita sudah memiliki Ibu Kota, lengkap dengan infrastruktur penunjang pemerintahan.
"Dan, masih banyak cara lain untuk menurunkan pengeluaran negara, seperti membubarkan lembaga-lembaga negara yang tidak produktif serta mengoptimalkan keuangan BUMN agar tidak semakin berdarah-darah," tandas Hendra.
Praktisi Hukum Kepailitan dan PKPU, Hendra Setiawan Boen menilai niat Kemenkeu mengerek PPN hingga 15% jelas akan menurunkan roda belanja masyarakat. Sehingga justru memberikan dampak buruk pada perekonomian yang saat ini mengalami resesi.
Baca Juga
"Hal ini justru akan memperlambat pemulihan ekonomi. Melambatnya ekonomi akan semakin membuat Indonesia semakin sulit keluar dari resesi ekonomi," ujar Hendra dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (14/5/2021).
Dia menilai Menkeu Sri Mulyani harus turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi pelaku usaha dan masyarakat yang sudah berdarah-darah. Sehingga memaksa mereka membayar PPN lebih mahal jelas kontraproduktif. Kata dia, sudah setahun terakhir terjadi lonjakan kasus-kasus perdata, kepailitan, PKPU akibat banyak pihak, individu maupun perusahaan kesulitan keuangan.
"Sri Mulyani harus berpikir jernih dan jangan berlindung dengan alasan PPN Indonesia terendah di dunia karena jelas negara lain mempunyai masalah tersendiri sehingga melahirkan kebijakan fiskal yang belum cocok diterapkan di Indonesia," jelasnya.
Menurut Hendra, menaikan PPN jelas bukan solusi. Yang paling penting adalah menjaga konsumsi yang akan menggerakan ekonomi. Pemerintah sebaiknya tidak membuat kebijakan yang akan memukul daya beli dan menekan masyarakat.
"Pajak akan lahir otomatis dari ekonomi yang bergerak. Kalau ekonomi macet karena PPN naik juga tidak akan membantu penerimaan negara," katanya.
Dengan tujuan menaikan konsumsi oleh masyarakat tersebut, kata Hendra, justru pemerintah harus terus memberikan insentif seperti menurunkan PPN dan pajak-pajak lain untuk menjaga daya beli masyarakat. "Faktanya, kebijakan menurunkan pajak untuk properti dan kendaraan bermotor berhasil menaikkan transaksi.
"Memang dapat dipahami saat ini pemerintah sedang berusaha menekan defisit yang pada 2020 mencapai 6,09 persen dari PDB atau sebesar Rp956,3 triliun. Namun demikian, solusi menurunkan defisit tidak melulu harus memaksa masyarakat membayar pajak lebih tinggi dari yang sebelumnya," paparnya.
Pemerintah bisa menurunkan defisit dengan menurunkan pengeluaran negara. Misalnya dengan menunda proyek-proyek mercusuar dan mewah seperti membangun Ibu Kota baru. Dalam kondisi normal, lanjutnya, sangat wajar apabila pemerintah ingin membangun ibukota baru mengingat Jakarta banyak masalah yang sulit diatasi.
Kendati demikian, pada saat keuangan negara sedang seret sama sekali tidak ada urgensi karena kita sudah memiliki Ibu Kota, lengkap dengan infrastruktur penunjang pemerintahan.
"Dan, masih banyak cara lain untuk menurunkan pengeluaran negara, seperti membubarkan lembaga-lembaga negara yang tidak produktif serta mengoptimalkan keuangan BUMN agar tidak semakin berdarah-darah," tandas Hendra.
(kri)
tulis komentar anda