Pesantren dan Literasi Ekonomi Syariah
Jum'at, 07 Mei 2021 - 05:05 WIB
Saiful Maarif
Bekerja pada Kementerian Agama dan Penggiat Birokrat Menulis
KEBERADAAN pesantren telah mewarnai lanskap pendidikan Indonesia dengan intens sekian lama. Dikenal dengan unsur tradisionalnya, belakangan pesantren mulai menggeliat dan menunjukkan kompatibilitas yang signifikan dengan perkembangan zaman dalam berbagai bentuknya. Salah satu yang patut mendapat perhatian tersendiri terkait hal ini adalah perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di lingkungan pondok pesantren. Hal ini setidaknya dilatari dua hal. Pertama, pesantren adalah sebuah garansi integritas untuk ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Kedua, peluang strategis ekonomi dan keuangan syariah untuk penguatan pembiayaan pesantren pascaafirmasi dan rekognisi pesantren secara regulatif.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menyebutkan bahwa pesantren memiliki posisi strategis, yakni sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, sekaligus lembaga pemberdayaan masyarakat. Ketiganya menjalin hubungan penting dan menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat dekat dengan masyarakat, karena tumbuh dan berkembang dari akar kemasyarakatan. Dengan kedekatan seperti ini, pesantren tidak bisa mengelak dalam menghadapi disrupsi perkembangan.
Belakangan, isu tentang pesantren mengemuka setidaknya dalam bentuk penyelewengan dana bantuan Covid-19, isu radikalisme yang masuk ke pesantren, dan layanan pendidikan inklusi. Faktor terakhir menjadi sorotan terutama karena munculnya inisiatif yang murni berasal dari masyarakat dalam memberikan layanan kepada para anak berkebutuhan khusus (ABK). Beberapa pesantren berinisiatif secara mandiri dalam memberikan layanan menghafal Alquran bagi ABK, sementara nomenklatur pondok pesantren luput dalam mengidentifikasi jenis layanan ini. Artinya, pada titik ini bisa jadi layanan terintegrasi belum hadir dalam bentuk layanan ABK di pesantren secara terstruktur dan terwadahi dalam regulasi.
Secara mendasar, ketiga tantangan tersebut menjadi pertanyaan penting terkait makna inklusivitas pesantren. Penting digarisbawahi, inklusivitas di sini bukan dalam makna oposisi biner dengan eksklusivitas. Inklusivitas pesantren lebih tertuju pada bagaimana kesiapan dan kehendak pesantren untuk terkoneksi dengan upaya pemberdayaan lembaga dan masyarakat sekitar.
Kemampuan memberdayakan diri pesantren dalam bentuk menekan jurang pembiayaan akan mampu menghindarkan mereka dari sikap sepenuhnya bergantung pada bantuan negara dan kemungkinan temuan penyelewengan yang terjadi kemudian. Lain hal, kehendak untuk meningkatkan literasi nilai washatiyah akan menjadi jawaban tegas mengenai isu radikalisme. Lebih jauh, kerja sama dengan berbagai pihak dan kesadaran beragam layanan pendidikan akan menjadikan pesantren sebagai pihak yang responsif terhadap tuntutan sebagai “pelayan” pendidikan Islam pada masyarakat.
Ekosistem Keuangan dan Ekonomi Syariah
Di tengah tantangan rupa-rupa disrupsi, pesantren harus menyesuaikan diri dengan tepat. Dukungan perundangan dan regulasi yang didapatkan seyogianya tidak malah melenakan, dengan membangun sikap penuntut atau dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu di luar ranah tujuan, visi, dan misi pesantren dalam semua skalanya. Pesantren juga perlu menjauhkan diri menjadi pihak yang mengistimewakan diri di balik afirmasi, rekognisi, dan dukungan regulasi yang kuat. Saat rekognisi telah diraih, baik secara regulasi maupun kesempatan, saatnya pula pesantren unjuk gigi memaknai independensi dengan karya produktif dan kemandiriannya.
Bekerja pada Kementerian Agama dan Penggiat Birokrat Menulis
KEBERADAAN pesantren telah mewarnai lanskap pendidikan Indonesia dengan intens sekian lama. Dikenal dengan unsur tradisionalnya, belakangan pesantren mulai menggeliat dan menunjukkan kompatibilitas yang signifikan dengan perkembangan zaman dalam berbagai bentuknya. Salah satu yang patut mendapat perhatian tersendiri terkait hal ini adalah perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di lingkungan pondok pesantren. Hal ini setidaknya dilatari dua hal. Pertama, pesantren adalah sebuah garansi integritas untuk ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Kedua, peluang strategis ekonomi dan keuangan syariah untuk penguatan pembiayaan pesantren pascaafirmasi dan rekognisi pesantren secara regulatif.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menyebutkan bahwa pesantren memiliki posisi strategis, yakni sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, sekaligus lembaga pemberdayaan masyarakat. Ketiganya menjalin hubungan penting dan menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat dekat dengan masyarakat, karena tumbuh dan berkembang dari akar kemasyarakatan. Dengan kedekatan seperti ini, pesantren tidak bisa mengelak dalam menghadapi disrupsi perkembangan.
Belakangan, isu tentang pesantren mengemuka setidaknya dalam bentuk penyelewengan dana bantuan Covid-19, isu radikalisme yang masuk ke pesantren, dan layanan pendidikan inklusi. Faktor terakhir menjadi sorotan terutama karena munculnya inisiatif yang murni berasal dari masyarakat dalam memberikan layanan kepada para anak berkebutuhan khusus (ABK). Beberapa pesantren berinisiatif secara mandiri dalam memberikan layanan menghafal Alquran bagi ABK, sementara nomenklatur pondok pesantren luput dalam mengidentifikasi jenis layanan ini. Artinya, pada titik ini bisa jadi layanan terintegrasi belum hadir dalam bentuk layanan ABK di pesantren secara terstruktur dan terwadahi dalam regulasi.
Secara mendasar, ketiga tantangan tersebut menjadi pertanyaan penting terkait makna inklusivitas pesantren. Penting digarisbawahi, inklusivitas di sini bukan dalam makna oposisi biner dengan eksklusivitas. Inklusivitas pesantren lebih tertuju pada bagaimana kesiapan dan kehendak pesantren untuk terkoneksi dengan upaya pemberdayaan lembaga dan masyarakat sekitar.
Kemampuan memberdayakan diri pesantren dalam bentuk menekan jurang pembiayaan akan mampu menghindarkan mereka dari sikap sepenuhnya bergantung pada bantuan negara dan kemungkinan temuan penyelewengan yang terjadi kemudian. Lain hal, kehendak untuk meningkatkan literasi nilai washatiyah akan menjadi jawaban tegas mengenai isu radikalisme. Lebih jauh, kerja sama dengan berbagai pihak dan kesadaran beragam layanan pendidikan akan menjadikan pesantren sebagai pihak yang responsif terhadap tuntutan sebagai “pelayan” pendidikan Islam pada masyarakat.
Ekosistem Keuangan dan Ekonomi Syariah
Di tengah tantangan rupa-rupa disrupsi, pesantren harus menyesuaikan diri dengan tepat. Dukungan perundangan dan regulasi yang didapatkan seyogianya tidak malah melenakan, dengan membangun sikap penuntut atau dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu di luar ranah tujuan, visi, dan misi pesantren dalam semua skalanya. Pesantren juga perlu menjauhkan diri menjadi pihak yang mengistimewakan diri di balik afirmasi, rekognisi, dan dukungan regulasi yang kuat. Saat rekognisi telah diraih, baik secara regulasi maupun kesempatan, saatnya pula pesantren unjuk gigi memaknai independensi dengan karya produktif dan kemandiriannya.
tulis komentar anda