KKB Ditetapkan sebagai Teroris, Akan Efektifkah Penanganan Kekerasan di Papua?

Minggu, 02 Mei 2021 - 11:49 WIB
Kedua, lanjut dia, meningkatnya eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua seperti terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain. Ketiga, kata dia, pelabelan terorisme membuka terjadinya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum, mengingat tidak jelasnya definisi siapa yang dinyatakan teroris.

“Pilihan Jokowi melabeli KKB Papua sebagai teroris dan dampak lanjutan yang akan terjadi, akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis, sebagaimana yang dijanjikannya dalam berbagai kesempatan,” tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, pilihan realistis bagi Papua adalah penyelesaian secara damai dimulai dengan kesepakatan penghentian permusuhan, membangun dialog dan susun skema-skema pembangunan yang disepakati. “Revisi UU Otonomi Khusus Papua bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial Papua, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat,”kataHendardi.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. “Ini langkah yang keliru. Selama ini orang Papua sudah marah distigma sebagai separatis, sekarang mereka dilabeli sebagai teroris. Kalau UU Terorisme betul diterapkan di sana, makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti. Akan ada lebih banyak ketakutan, kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan juga negara,” kata Usman Hamid.

Amnesty menilai dengan label teroris, aparat keamanan pemerintah dapat menangkap dan menahan siapa saja di bawah UU Terorisme tanpa mematuhi kaidah hukum acara yang benar (due process of law). Amnesty berpendapat bahwa proses hukum dengan tuduhan ini dapat menjadi lebih keras dibanding pasal-pasal makar yang kerap kali dituduhkan kepada orang Papua.

Amnesty di tahun 2021 mencatat adanya 31 tahanan hati nurani yang dikenakan pasal-pasal makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya. Di antaranya adalah 13 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sudah bebas dan berstatus wajib lapor, lalu enam orang di Sorong, dan tiga orang aktivis KNPB di Sorong.

“Ini terlihat sebagai upaya yang lebih legal untuk mencap separatis sebagai teroris. Kebijakan yang dikoordinasikan Menko Polhukam saat ini bisa mengulangi kesalahan kebijakan Menko Polhukam di era pemerintahan Megawati yang mencap tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka dengan tuduhan teroris dan pada akhirnya hanya menggagalkan peluang penyelesaian konflik secara damai,” kata Usman..

Amnesty juga menilai pemberian label teroris terhadap kelompok seperti OPM tidak akan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan kekerasan lainnya di Papua. Sebaliknya, Amnesty berpendapat, masuknya OPM dalam DTTOT sama saja dengan memperluas lingkup pendekatan keamanan, termasuk dengan melibatkan senjata berat dan pasukan khusus.

Selain itu, penentuan status OPM sebagai organisasi teroris juga tidak konsisten dengan UU Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 5 yang menyatakan “Tindak pidana teroris yang diatur dalam UU ini harus dianggap bukan tindak pidana politik,” Katanya.

Sementara, kegiatan yang dilakukan OPM dinilai sangat lekat dengan aspek politik karena berhubungan dengan ekspresi politik mereka, yang diakui oleh hukum internasional. Kemudian, penetapan status itu juga dianggap berpotensi untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui UU Terorisme.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More