Mengantispasi Konflik Laut China Selatan

Jum'at, 30 April 2021 - 05:51 WIB
Konflik Laut China Selatan terus menjadi perhatian dunia. FOTO/WIN CAHYONO
JAKARTA - Pusaran konflik masa depan diperkirakan bergeser Laut China Selatan (LCS) . Kekhawatiran kian mengemuka seiring kian intensifnya sejumlah pihak di dunia yang terlibat dalam ketegangan di LCS. Bahkan, Amerika Serikat (AS) mengajak koalisi seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, mulai menggelar patroli dan unjuk kekuatan di LCS.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu telah menjadi pusat kompetisi strategi antara Amerika Serikat (AS) dan China. AS memandang Beijing melakukan tindakan ekspansif dan represif di LCS sehingga mengganggu tatanan dan mengancam perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.

Di lain pihak, China tak mau berkompromi dengan klaimnya terus membangun kekuatannya di Pulau Paracel dan Spratly. Teranyar, China mengirimkan tiga kapal perangnya pada awal bulan ini, termasuk kapal selama bertenaga nuklir. Selain itu, China juga mengirim lebih dari 200 kapal nelayan yang dituduh melanggar batas wilayah perairan dengan Filipina di kawasan LCS Selatan.



Aksi itu bersamaan ketika kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth juga melintasi perairan LCS menuju Jepang. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal induk USS Theodore Roosevelt dan kapal serbu amfibi USS Makin Island untuk melakukan latihan di LCS.



Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam ketegangan di LCS juga sudah unjuk kekuatan. Misalnya, Vietnam sudah menggelar latihan perang di LCS. Bahkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengaku tidak menarik kapal perangnya yang berpatroli di LCS meskipun ditekan Filipina.

Padahal, China sudah membagikan vaksin gratisnya kepada Filipina, tetapi Duterte mendapatkan tekanan di dalam negeri yang sangat kuat mengenai nasionalisme dan kedaulatan.



Filipina dan Vietnam kini lebih merapat ke AS dalam konflik LCS. Apalagi AS memerlukan itra serta aliansi untuk menghadapi China di LCS. Selain itu, AS juga telah memperkuat kesiapan pertempuran, pengintaian dan pertahanan di kawasan LCS.

Peningkatan aktivitas militer itu memicu ketidakpastian di LCS. Berbagai insiden pun pernah terjadi. Tabrakan antara kapal perang AS dan China pada 2018 ditambah dengan latihan perang pada 2020. Itu membahayakan LCS karena bisa berpotensi menjadi ladang perang antara kedua kekuatan dunia itu.

Potensi perang tentu harus sekuat mungkin dihindarkan, mengingat dampak yang ditimbulkan. Betapa tidak, LCS merupakan kawasan paling strategis secara geopolitik. Itu menjadi jalur pelayanan tersibuk kedua di dunia. Selain itu, LCS juga memiliki cadangan minyak senilai 7,7 miliar barel dan gas alam mencapai 266 triliun kaki kubik. Bahkan, sepertiga keragaman hayati laut dunia berada di LCS.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah menyatakan, Indonesia bukan merupakan claimant state di Laut China Selatan (LCS). Namun demikian, merupakan kepentingan bagi Indonesia dan bagi seluruh negara di kawasan untuk memastikan stabilitas dan perdamaian di LCS. Faizasyah menuturkan, Indonesia memandang penting upaya untuk tidak menjadikan LCS sebagai ajang pertikaian di antara negara-negara berpengaruh di dunia.

"Konflik di LCS murninya adalah konflik di antara claimant states. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendorong claimant states menyelesaikan permasalahan di antara mereka melalui dialog damai, sesuai dengan hukum internasional," tegas Faizasyah kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis (29/4/2021) sore.



Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu ini membeberkan, berbagai risiko terkait dengan potensi konflik di LCS sudah sejak lama menjadi perhatian Kemlu. Oleh karena itu, Indonesia tidak hentinya mendorong kerja sama di antara negara-negara di kawasan demi terciptanya strategic trust dan kerja sama di LCS.

Dia menjelaskan, beberapa pihak memperkirakan antara 20 % sampai dengan 33 % perdagangan internasional melalui perairan di LCS.

"Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di LC, terutama mengingat mitra-mitra penting ekonomi RI adalah RRT, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan," ujarnya.

Faizasyah menggariskan, diplomasi Kemlu yang dimainkan Indonesia di tataran global untuk membicarakan LCS tentunya masih memiliki signifikansi. Indonesia terus memajukan interkasi antar-negara di kawasan maritim yang berdasarkan pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Dalam hal ini, diplomasi RI di forum-forum internasional terkait dengan hukum laut terefleksikan juga dari kegiatan diplomasi di tataran regional dan bilateral. Karenanya Faizasyah membenarkan saat disinggung posisi dan peran Indonesia dalam mengatasi ketegangan di LCS.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More