Mengantispasi Konflik Laut China Selatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusaran konflik masa depan diperkirakan bergeser Laut China Selatan (LCS) . Kekhawatiran kian mengemuka seiring kian intensifnya sejumlah pihak di dunia yang terlibat dalam ketegangan di LCS. Bahkan, Amerika Serikat (AS) mengajak koalisi seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, mulai menggelar patroli dan unjuk kekuatan di LCS.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu telah menjadi pusat kompetisi strategi antara Amerika Serikat (AS) dan China. AS memandang Beijing melakukan tindakan ekspansif dan represif di LCS sehingga mengganggu tatanan dan mengancam perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.
Di lain pihak, China tak mau berkompromi dengan klaimnya terus membangun kekuatannya di Pulau Paracel dan Spratly. Teranyar, China mengirimkan tiga kapal perangnya pada awal bulan ini, termasuk kapal selama bertenaga nuklir. Selain itu, China juga mengirim lebih dari 200 kapal nelayan yang dituduh melanggar batas wilayah perairan dengan Filipina di kawasan LCS Selatan.
Aksi itu bersamaan ketika kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth juga melintasi perairan LCS menuju Jepang. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal induk USS Theodore Roosevelt dan kapal serbu amfibi USS Makin Island untuk melakukan latihan di LCS.
Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam ketegangan di LCS juga sudah unjuk kekuatan. Misalnya, Vietnam sudah menggelar latihan perang di LCS. Bahkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengaku tidak menarik kapal perangnya yang berpatroli di LCS meskipun ditekan Filipina.
Padahal, China sudah membagikan vaksin gratisnya kepada Filipina, tetapi Duterte mendapatkan tekanan di dalam negeri yang sangat kuat mengenai nasionalisme dan kedaulatan.
Filipina dan Vietnam kini lebih merapat ke AS dalam konflik LCS. Apalagi AS memerlukan itra serta aliansi untuk menghadapi China di LCS. Selain itu, AS juga telah memperkuat kesiapan pertempuran, pengintaian dan pertahanan di kawasan LCS.
Peningkatan aktivitas militer itu memicu ketidakpastian di LCS. Berbagai insiden pun pernah terjadi. Tabrakan antara kapal perang AS dan China pada 2018 ditambah dengan latihan perang pada 2020. Itu membahayakan LCS karena bisa berpotensi menjadi ladang perang antara kedua kekuatan dunia itu.
Potensi perang tentu harus sekuat mungkin dihindarkan, mengingat dampak yang ditimbulkan. Betapa tidak, LCS merupakan kawasan paling strategis secara geopolitik. Itu menjadi jalur pelayanan tersibuk kedua di dunia. Selain itu, LCS juga memiliki cadangan minyak senilai 7,7 miliar barel dan gas alam mencapai 266 triliun kaki kubik. Bahkan, sepertiga keragaman hayati laut dunia berada di LCS.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah menyatakan, Indonesia bukan merupakan claimant state di Laut China Selatan (LCS). Namun demikian, merupakan kepentingan bagi Indonesia dan bagi seluruh negara di kawasan untuk memastikan stabilitas dan perdamaian di LCS. Faizasyah menuturkan, Indonesia memandang penting upaya untuk tidak menjadikan LCS sebagai ajang pertikaian di antara negara-negara berpengaruh di dunia.
"Konflik di LCS murninya adalah konflik di antara claimant states. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendorong claimant states menyelesaikan permasalahan di antara mereka melalui dialog damai, sesuai dengan hukum internasional," tegas Faizasyah kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis (29/4/2021) sore.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu ini membeberkan, berbagai risiko terkait dengan potensi konflik di LCS sudah sejak lama menjadi perhatian Kemlu. Oleh karena itu, Indonesia tidak hentinya mendorong kerja sama di antara negara-negara di kawasan demi terciptanya strategic trust dan kerja sama di LCS.
Dia menjelaskan, beberapa pihak memperkirakan antara 20 % sampai dengan 33 % perdagangan internasional melalui perairan di LCS.
"Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di LC, terutama mengingat mitra-mitra penting ekonomi RI adalah RRT, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan," ujarnya.
Faizasyah menggariskan, diplomasi Kemlu yang dimainkan Indonesia di tataran global untuk membicarakan LCS tentunya masih memiliki signifikansi. Indonesia terus memajukan interkasi antar-negara di kawasan maritim yang berdasarkan pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Dalam hal ini, diplomasi RI di forum-forum internasional terkait dengan hukum laut terefleksikan juga dari kegiatan diplomasi di tataran regional dan bilateral. Karenanya Faizasyah membenarkan saat disinggung posisi dan peran Indonesia dalam mengatasi ketegangan di LCS.
"Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN mempunyai peran penting sebagai honest broker dalam mendorong saling percaya dan kerja sama di antara para claimant states. Demi menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan LCS, Indonesia berupaya mendorong adanya dialog dalam forum regional dan melalui interaksi bilateral," ungkapnya.
Dia menuturkan, hubungan Tiongkok dengan negara-negara ASEAN tidak hanya terfokus pada isu LCS. Kemitraan Dialog ASEAN-RRT, yang berkembang sejak tahun 1996, mencakup kerja sama di berbagai bidang yang saling menguntungkan dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di kawasan. Faizasyah melanjutkan,
untuk mencari solusi dalam penyelesaian ketegangan di LCS, maka Indonesia selalu mendorong dialog di antara claimant states di LCS. Dialog tersebut baik melalui dialog track 2 atau track 1.5, maupun forum-forum kerja sama G-to-G seperti ASEAN-China.
"Tentunya tidak akan pernah ada keuntungan dalam suatu konflik. Oleh karena itu selalu diupayakan cara untuk me-manage konflik dan memperat kerja sama di perairan LCS," ucap Faizasyah.
Episentrum Kompetisi
Presiden National Institute for South China Sea Studies, China, Wu Shicun, menilai, meskipun ada potensi risiko perang di LCS, seharusnya itu tidak dipandang sebagai pertarungan antar negara besar saja. Namun, itu juga sebagai episentrum kompetisi strategi besar antara China dan AS di kawasan Indo-Pasifik.
Beijing dan Washington tetap berkompetisi untuk memiliki peran lebih besar di kawasan Indo-Pasifik. Padahal, dalam code of conduct LCS tidak melibatkan Washington, tetapi lebih fokus pada ASEAn dan China. Beijing justru melihat Washington tidak mau bernegosiasi dan justru mempengaruhi negara lain untuk memecah belah proses negosiasi.
China dan AS lebih fokus pada kompetisi untuk menguasai laut di LCS. Pertumbuhan kekuatan militer China yang terus menguat menjadikan AS mencoba mencari keseimbangan di Asia agar tetap menjadi kekuatan penting. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut China dan proyek reklamasi di LCS juga menjadi upaya menantang AS yang berusaha menguasai LCS. Akibatnya, AS dan aliansinya pun meningkatkan kehadiran militer di LCS untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
“Kehadiran AS di LCS dipandang China sebagai upaya untuk menghalau kepentingan luar negeri Beijing,” kata Wu.
Perubahan kesimbangan ke LCS berimplikasi pada sistem aliansi AS. Sekutu AS pun mulai mendekati LCS dan membangun kepentingan di sana. Australia, Jepang, Inggris, Prancis dan India telah meningkatkan keterlibatan dan kerja sama dengan AS dan negara-negara Asia Tenggara.
Kompetisi antara Beijing dan Washington di LCS pun menjadi semakin global dan kompleks. Australia, Jepang, Inggris, Prancis dan India telah berusaha meningkatkan pengaruhnya di LCS. Mereka juga ikut berkontribusi untuk mencegah China menguasai LCS. “Stabilitas di LCS merupakan hal penting bagi seluruh dunia,” ujar Wu.
Dia mengatakan, perlunya perbedaan antara kompetisi strategi bilateral dan kompetisi kekuatan maritim multilateral. “China dan AS seharusnya membangun mekanisme pencegahan krisis bersama untuk lebih menekankan kompetisi strategis di LCS,” sarannya.
Sebenarnya, dikarenakan bermain sendiri dalam konflik di LCS China memang tidak terlalu unggul dalam mendorong strategi militer. Kini China pun memainkan strategi dengan melibatkan armada sipil dan bisnis untuk menyerbu LCS. Beijing mengirimkan ratusan kapal ikan ke LCS.
Antonio T. Carpio, pakar politik Filipina, mengungkapkan China mengadopsi strategi Three Warfares untuk mengakuisisi LCS untuk tujuan ekonomi dan militer tanpa memicu perang. Partai Komunikasi China, Komite Pusat dan Komisi Militer Pusat sudah menyepakati strategi tersebut.
"Strategi pertama adalah kampanye propaganda di mana mendeklarasikan LCS adalah milik China. Strategi kedua yakni mengintimidasi negara-negara di sekitar LCS. Strategi China mengajukan argumen hukum," katanya dilansir The Straits Times. Upaya China mengirim kapal nelayan ke Laut China merupakan bentuk dari strategi kedua.
Filipina meminta China untuk menarik lebih dari 200 kapal yang dituduh melanggar batas wilayah perairannya di LCS. Menteri pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, mengatakan kapal-kapal China itu melanggar hak maritim Filipina. Filipina mengatakan kapal-kapal nelayan itu tampak tidak sedang mencari ikan dan diawaki oleh milisi maritim China.
Sedangkan strategi China dengan mengerahkan 200 kapal nelayan di Whitsun Reef sebagai upaya untuk membentuk milisi sipil.
Samir Puri dan Greg Austin, peneliti International Institute for Strategic Studies (IISS) di Singapura, mengaku insiden tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. "Para nelayan itu berkumpul di sekitar Spratly selama beberapa pekan," kata mereka.
Sedangkan menurut mantan direktur operasi di Pusat Intelijen Bersama di Komando Pasifik AS Carl Shuster, milisi tersebut tidak mencari ikan. "Mereka memiliki senapan otomatis," ujarnya. Strategi seperti diterapkan Rusia dengan Little Green Men, tentara yang menyamar sebagai warga sipil dan menginfiltrasi ke Crimea sebelum Moskow menaneksasi Ukraina pada 2014.
Lima tahun lalu pengadilan internasional menolak klaim kedaulatan China atas 90% LCS. Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam telah menentang klaim China selama puluhan tahun namun ketegangan mulai meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Beijing terus mengklaim wilayah yang dinamakan "sembilan garis putus-putus" dan mendukung klaimnya dengan membangun pulau buatan dan berpatroli, memperluas keberadaan militernya sambil berkukuh bahwa niatnya damai.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu telah menjadi pusat kompetisi strategi antara Amerika Serikat (AS) dan China. AS memandang Beijing melakukan tindakan ekspansif dan represif di LCS sehingga mengganggu tatanan dan mengancam perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.
Di lain pihak, China tak mau berkompromi dengan klaimnya terus membangun kekuatannya di Pulau Paracel dan Spratly. Teranyar, China mengirimkan tiga kapal perangnya pada awal bulan ini, termasuk kapal selama bertenaga nuklir. Selain itu, China juga mengirim lebih dari 200 kapal nelayan yang dituduh melanggar batas wilayah perairan dengan Filipina di kawasan LCS Selatan.
Aksi itu bersamaan ketika kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth juga melintasi perairan LCS menuju Jepang. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal induk USS Theodore Roosevelt dan kapal serbu amfibi USS Makin Island untuk melakukan latihan di LCS.
Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam ketegangan di LCS juga sudah unjuk kekuatan. Misalnya, Vietnam sudah menggelar latihan perang di LCS. Bahkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengaku tidak menarik kapal perangnya yang berpatroli di LCS meskipun ditekan Filipina.
Padahal, China sudah membagikan vaksin gratisnya kepada Filipina, tetapi Duterte mendapatkan tekanan di dalam negeri yang sangat kuat mengenai nasionalisme dan kedaulatan.
Filipina dan Vietnam kini lebih merapat ke AS dalam konflik LCS. Apalagi AS memerlukan itra serta aliansi untuk menghadapi China di LCS. Selain itu, AS juga telah memperkuat kesiapan pertempuran, pengintaian dan pertahanan di kawasan LCS.
Peningkatan aktivitas militer itu memicu ketidakpastian di LCS. Berbagai insiden pun pernah terjadi. Tabrakan antara kapal perang AS dan China pada 2018 ditambah dengan latihan perang pada 2020. Itu membahayakan LCS karena bisa berpotensi menjadi ladang perang antara kedua kekuatan dunia itu.
Potensi perang tentu harus sekuat mungkin dihindarkan, mengingat dampak yang ditimbulkan. Betapa tidak, LCS merupakan kawasan paling strategis secara geopolitik. Itu menjadi jalur pelayanan tersibuk kedua di dunia. Selain itu, LCS juga memiliki cadangan minyak senilai 7,7 miliar barel dan gas alam mencapai 266 triliun kaki kubik. Bahkan, sepertiga keragaman hayati laut dunia berada di LCS.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah menyatakan, Indonesia bukan merupakan claimant state di Laut China Selatan (LCS). Namun demikian, merupakan kepentingan bagi Indonesia dan bagi seluruh negara di kawasan untuk memastikan stabilitas dan perdamaian di LCS. Faizasyah menuturkan, Indonesia memandang penting upaya untuk tidak menjadikan LCS sebagai ajang pertikaian di antara negara-negara berpengaruh di dunia.
"Konflik di LCS murninya adalah konflik di antara claimant states. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendorong claimant states menyelesaikan permasalahan di antara mereka melalui dialog damai, sesuai dengan hukum internasional," tegas Faizasyah kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis (29/4/2021) sore.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu ini membeberkan, berbagai risiko terkait dengan potensi konflik di LCS sudah sejak lama menjadi perhatian Kemlu. Oleh karena itu, Indonesia tidak hentinya mendorong kerja sama di antara negara-negara di kawasan demi terciptanya strategic trust dan kerja sama di LCS.
Dia menjelaskan, beberapa pihak memperkirakan antara 20 % sampai dengan 33 % perdagangan internasional melalui perairan di LCS.
"Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di LC, terutama mengingat mitra-mitra penting ekonomi RI adalah RRT, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan," ujarnya.
Faizasyah menggariskan, diplomasi Kemlu yang dimainkan Indonesia di tataran global untuk membicarakan LCS tentunya masih memiliki signifikansi. Indonesia terus memajukan interkasi antar-negara di kawasan maritim yang berdasarkan pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Dalam hal ini, diplomasi RI di forum-forum internasional terkait dengan hukum laut terefleksikan juga dari kegiatan diplomasi di tataran regional dan bilateral. Karenanya Faizasyah membenarkan saat disinggung posisi dan peran Indonesia dalam mengatasi ketegangan di LCS.
"Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN mempunyai peran penting sebagai honest broker dalam mendorong saling percaya dan kerja sama di antara para claimant states. Demi menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan LCS, Indonesia berupaya mendorong adanya dialog dalam forum regional dan melalui interaksi bilateral," ungkapnya.
Dia menuturkan, hubungan Tiongkok dengan negara-negara ASEAN tidak hanya terfokus pada isu LCS. Kemitraan Dialog ASEAN-RRT, yang berkembang sejak tahun 1996, mencakup kerja sama di berbagai bidang yang saling menguntungkan dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di kawasan. Faizasyah melanjutkan,
untuk mencari solusi dalam penyelesaian ketegangan di LCS, maka Indonesia selalu mendorong dialog di antara claimant states di LCS. Dialog tersebut baik melalui dialog track 2 atau track 1.5, maupun forum-forum kerja sama G-to-G seperti ASEAN-China.
"Tentunya tidak akan pernah ada keuntungan dalam suatu konflik. Oleh karena itu selalu diupayakan cara untuk me-manage konflik dan memperat kerja sama di perairan LCS," ucap Faizasyah.
Episentrum Kompetisi
Presiden National Institute for South China Sea Studies, China, Wu Shicun, menilai, meskipun ada potensi risiko perang di LCS, seharusnya itu tidak dipandang sebagai pertarungan antar negara besar saja. Namun, itu juga sebagai episentrum kompetisi strategi besar antara China dan AS di kawasan Indo-Pasifik.
Beijing dan Washington tetap berkompetisi untuk memiliki peran lebih besar di kawasan Indo-Pasifik. Padahal, dalam code of conduct LCS tidak melibatkan Washington, tetapi lebih fokus pada ASEAn dan China. Beijing justru melihat Washington tidak mau bernegosiasi dan justru mempengaruhi negara lain untuk memecah belah proses negosiasi.
China dan AS lebih fokus pada kompetisi untuk menguasai laut di LCS. Pertumbuhan kekuatan militer China yang terus menguat menjadikan AS mencoba mencari keseimbangan di Asia agar tetap menjadi kekuatan penting. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut China dan proyek reklamasi di LCS juga menjadi upaya menantang AS yang berusaha menguasai LCS. Akibatnya, AS dan aliansinya pun meningkatkan kehadiran militer di LCS untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
“Kehadiran AS di LCS dipandang China sebagai upaya untuk menghalau kepentingan luar negeri Beijing,” kata Wu.
Perubahan kesimbangan ke LCS berimplikasi pada sistem aliansi AS. Sekutu AS pun mulai mendekati LCS dan membangun kepentingan di sana. Australia, Jepang, Inggris, Prancis dan India telah meningkatkan keterlibatan dan kerja sama dengan AS dan negara-negara Asia Tenggara.
Kompetisi antara Beijing dan Washington di LCS pun menjadi semakin global dan kompleks. Australia, Jepang, Inggris, Prancis dan India telah berusaha meningkatkan pengaruhnya di LCS. Mereka juga ikut berkontribusi untuk mencegah China menguasai LCS. “Stabilitas di LCS merupakan hal penting bagi seluruh dunia,” ujar Wu.
Dia mengatakan, perlunya perbedaan antara kompetisi strategi bilateral dan kompetisi kekuatan maritim multilateral. “China dan AS seharusnya membangun mekanisme pencegahan krisis bersama untuk lebih menekankan kompetisi strategis di LCS,” sarannya.
Sebenarnya, dikarenakan bermain sendiri dalam konflik di LCS China memang tidak terlalu unggul dalam mendorong strategi militer. Kini China pun memainkan strategi dengan melibatkan armada sipil dan bisnis untuk menyerbu LCS. Beijing mengirimkan ratusan kapal ikan ke LCS.
Antonio T. Carpio, pakar politik Filipina, mengungkapkan China mengadopsi strategi Three Warfares untuk mengakuisisi LCS untuk tujuan ekonomi dan militer tanpa memicu perang. Partai Komunikasi China, Komite Pusat dan Komisi Militer Pusat sudah menyepakati strategi tersebut.
"Strategi pertama adalah kampanye propaganda di mana mendeklarasikan LCS adalah milik China. Strategi kedua yakni mengintimidasi negara-negara di sekitar LCS. Strategi China mengajukan argumen hukum," katanya dilansir The Straits Times. Upaya China mengirim kapal nelayan ke Laut China merupakan bentuk dari strategi kedua.
Filipina meminta China untuk menarik lebih dari 200 kapal yang dituduh melanggar batas wilayah perairannya di LCS. Menteri pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, mengatakan kapal-kapal China itu melanggar hak maritim Filipina. Filipina mengatakan kapal-kapal nelayan itu tampak tidak sedang mencari ikan dan diawaki oleh milisi maritim China.
Sedangkan strategi China dengan mengerahkan 200 kapal nelayan di Whitsun Reef sebagai upaya untuk membentuk milisi sipil.
Samir Puri dan Greg Austin, peneliti International Institute for Strategic Studies (IISS) di Singapura, mengaku insiden tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. "Para nelayan itu berkumpul di sekitar Spratly selama beberapa pekan," kata mereka.
Sedangkan menurut mantan direktur operasi di Pusat Intelijen Bersama di Komando Pasifik AS Carl Shuster, milisi tersebut tidak mencari ikan. "Mereka memiliki senapan otomatis," ujarnya. Strategi seperti diterapkan Rusia dengan Little Green Men, tentara yang menyamar sebagai warga sipil dan menginfiltrasi ke Crimea sebelum Moskow menaneksasi Ukraina pada 2014.
Lima tahun lalu pengadilan internasional menolak klaim kedaulatan China atas 90% LCS. Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam telah menentang klaim China selama puluhan tahun namun ketegangan mulai meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Beijing terus mengklaim wilayah yang dinamakan "sembilan garis putus-putus" dan mendukung klaimnya dengan membangun pulau buatan dan berpatroli, memperluas keberadaan militernya sambil berkukuh bahwa niatnya damai.
(ynt)