Pengamat: Penetapan KKB OPM sebagai Teroris Dorong PBB Intervensi Masalah Papua
Kamis, 29 April 2021 - 13:16 WIB
JAKARTA - Pengamat Kepolisian Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto mengusulkan agar Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua tidak ditetapkan sebagai organisasi teroris karena dapat mengundang masuknya intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
”Pengangamatan saya, nama Kelly Kwalik yang diburu TNI sejak 1976 sempat mendunia. Pada 16 Desember 2009, Polri berhasil menangkap mati Kelly Kwalik setelah baku tembak dalam “Raid” Operasi Penegakan Hukum yang dilakukan Polri di Kota Timika. Kemudian Polri memberikan penjelasan terkait operasi penegakan hukum tersebut berdasarkan aturan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) PBB bagi penegak hukum," ujarnya, Kamis (29/4/2021).
Ketua Penasihat Ahli Kapolri mengatakan, upaya tersebut dapat mencegah reaksi internasional terkait tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida terhadap orang Papua. ”Namun, mengapa OPM sampai sekarang sulit diberantas karena ”banyak kepentingan di Papua”. Sepertinya, OPM sekarang semakin membesar karena OPM mendapat dukungan dari politisi, sebagian masyarakat khususnya anak muda, dan adanya pengaruh kekuatan eksternal yakni, adanya kepentingan asing terkait pengelolaan sumber daya alam Papua,” ucapnya.
Sisno mengakui, banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan terkait masalah keberadaan dan kegiatan KKB di Papua. Karenanya, permasalahan ini harus benar-benar ditangani secara komprehensif yang disertai keberanian dan kemauan untuk menghilangkan ego sektoral dari para pemangku kepentingan. ”Menempatkan KKB sebagai organisasi teroris sangat ditunggu dan sangat diharapkan oleh KKB, politisi pro OPM untuk mendorong agar PBB dapat ikut campur tangan dalam penanganan masalah Papua,” kata Sisno.
Karena itu, Penasihat Keluarga Besar Putra Putri Polri ini berharap upaya penempatan KKB sebagai organisasi teroris harus dapat dicegah. “Agar negara tidak masuk kedalam jebakan OPM dengan menetapkan KKB OPM sebagai organisasi teroris. Tujuannya agar PBB tidak bisa masuk untuk intervensi masalah Papua. Semestinya kita bisa menghindari merubah label KKB menjadi Organisasi teroris atau separatisme bukan karena urusan ego sektoral, urusan kewenangan, urusan anggaran atau urusan perasaan,” kata Sisno.
Mantna Kepala BNPT Irjen Pol Purn Ansya’ad Mbai juga menyatakan pilihan kebijakan dalam penanganan Papua tidak bisa didasarkan hanya pada perspektif keamanan saja, apalagi keamanan yang konotasi operasi militer dengan memposisikan atau melabeli OPM sebagai separatisme atau organisasi teroris. ”Cukup banyak fakta yang menunjukan bahwa dengan operasi militer justru menyebabkan masalah yang makin kompleks terutama dibidang politik karena muncul tuntutan semakin kuat dari kelompok OPM/TPPM yang didukung NGO di beberapa negara bahkan oleh anggota kongres AS Patrice Leahy,” katanya.
Semakin gencarnya tuntutan ini, kata dia, menjadi beban diplomasi Indonesia di lingkungan internasional terutama dalam masalah pelanggaran HAM bahkan terjadinya genosida. Sampai saat ini tuntutan merdeka belum surut dan setiap kali pemerintah melancarkan operasi militer sebagai reaksi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan OPM/TPPM, maka tuntutan merdeka makin marak.
”Oleh karena itu penanganan kasus di Papua yang dilakukan oleh OPM sebaiknya dengan pendekatan penegakan hukum yang profesional, transparan termasuk menembak mati pelaku OPM sesuai ketentuan hukum agar diterima oleh semua pihak termasuk internasional, PBB bahkan OPM sendiri seperti contoh kasus Kelly Kwalik yang mestinya menjadi pelajaran bagi kita untuk menentukan kebijakan di Papua, khususnya masalah OPM tidak merubah label KKB menjadi label separatisme atau organisasi terorisme,” katanya.
Dia menambahkan, memang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan penanganan OPM/TPPM, penggunaan satuan militer diperlukan dalam rangka memperkuat dan meningkatkan kemampuan penegakan hukum karena Polri sendiri tidak mampu menghadapi kondisi geografis dan luas wilayah yang harus dijelajahi di Papua.
”Pengangamatan saya, nama Kelly Kwalik yang diburu TNI sejak 1976 sempat mendunia. Pada 16 Desember 2009, Polri berhasil menangkap mati Kelly Kwalik setelah baku tembak dalam “Raid” Operasi Penegakan Hukum yang dilakukan Polri di Kota Timika. Kemudian Polri memberikan penjelasan terkait operasi penegakan hukum tersebut berdasarkan aturan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) PBB bagi penegak hukum," ujarnya, Kamis (29/4/2021).
Ketua Penasihat Ahli Kapolri mengatakan, upaya tersebut dapat mencegah reaksi internasional terkait tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida terhadap orang Papua. ”Namun, mengapa OPM sampai sekarang sulit diberantas karena ”banyak kepentingan di Papua”. Sepertinya, OPM sekarang semakin membesar karena OPM mendapat dukungan dari politisi, sebagian masyarakat khususnya anak muda, dan adanya pengaruh kekuatan eksternal yakni, adanya kepentingan asing terkait pengelolaan sumber daya alam Papua,” ucapnya.
Sisno mengakui, banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan terkait masalah keberadaan dan kegiatan KKB di Papua. Karenanya, permasalahan ini harus benar-benar ditangani secara komprehensif yang disertai keberanian dan kemauan untuk menghilangkan ego sektoral dari para pemangku kepentingan. ”Menempatkan KKB sebagai organisasi teroris sangat ditunggu dan sangat diharapkan oleh KKB, politisi pro OPM untuk mendorong agar PBB dapat ikut campur tangan dalam penanganan masalah Papua,” kata Sisno.
Karena itu, Penasihat Keluarga Besar Putra Putri Polri ini berharap upaya penempatan KKB sebagai organisasi teroris harus dapat dicegah. “Agar negara tidak masuk kedalam jebakan OPM dengan menetapkan KKB OPM sebagai organisasi teroris. Tujuannya agar PBB tidak bisa masuk untuk intervensi masalah Papua. Semestinya kita bisa menghindari merubah label KKB menjadi Organisasi teroris atau separatisme bukan karena urusan ego sektoral, urusan kewenangan, urusan anggaran atau urusan perasaan,” kata Sisno.
Mantna Kepala BNPT Irjen Pol Purn Ansya’ad Mbai juga menyatakan pilihan kebijakan dalam penanganan Papua tidak bisa didasarkan hanya pada perspektif keamanan saja, apalagi keamanan yang konotasi operasi militer dengan memposisikan atau melabeli OPM sebagai separatisme atau organisasi teroris. ”Cukup banyak fakta yang menunjukan bahwa dengan operasi militer justru menyebabkan masalah yang makin kompleks terutama dibidang politik karena muncul tuntutan semakin kuat dari kelompok OPM/TPPM yang didukung NGO di beberapa negara bahkan oleh anggota kongres AS Patrice Leahy,” katanya.
Semakin gencarnya tuntutan ini, kata dia, menjadi beban diplomasi Indonesia di lingkungan internasional terutama dalam masalah pelanggaran HAM bahkan terjadinya genosida. Sampai saat ini tuntutan merdeka belum surut dan setiap kali pemerintah melancarkan operasi militer sebagai reaksi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan OPM/TPPM, maka tuntutan merdeka makin marak.
”Oleh karena itu penanganan kasus di Papua yang dilakukan oleh OPM sebaiknya dengan pendekatan penegakan hukum yang profesional, transparan termasuk menembak mati pelaku OPM sesuai ketentuan hukum agar diterima oleh semua pihak termasuk internasional, PBB bahkan OPM sendiri seperti contoh kasus Kelly Kwalik yang mestinya menjadi pelajaran bagi kita untuk menentukan kebijakan di Papua, khususnya masalah OPM tidak merubah label KKB menjadi label separatisme atau organisasi terorisme,” katanya.
Dia menambahkan, memang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan penanganan OPM/TPPM, penggunaan satuan militer diperlukan dalam rangka memperkuat dan meningkatkan kemampuan penegakan hukum karena Polri sendiri tidak mampu menghadapi kondisi geografis dan luas wilayah yang harus dijelajahi di Papua.
(cip)
tulis komentar anda