Ambisi Bumi Lebih Bersih
Senin, 26 April 2021 - 05:45 WIB
Pekan lalu, tepatnya Kamis, 22 April 2021, kita memperingati Hari Bumi. Ini merupakan peringatan Hari Bumi kedua yang dilaksanakan di masa Covid-19. Meski demikian, hal itu tak menyurutkan para pemimpin negara untuk tetap berkomitmen dalam upaya memperbaiki bumi kita tercinta.
Bentuk komitmen para pemimpin negara dalam mengurusi bumi ini salah satunya dilakukan dengan digelarnya inisiatif Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang digelar secaraonline. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu peserta yang memberikan pandangannya dari Istana Bogor.
Dalam KTT tersebut Presiden AS Joe Biden selaku pengundang mendatangkan 40 pimpinan negara, termasuk Jokowi. Para pemimpin lain dari negara-negara ekonomi raksasa seperti China juga tampak hadir.
Dari sekian banyak agenda yang disampaikan, isu energi terbarukan (renewable energy) dan energi bersih menjadi salah satu perhatian penting dalam KTT tersebut. Bahkan Biden selaku pemrakarsa mengingatkan kembali perlunya menambah investasi di sektor energi terbarukan.
Apa yang disampaikan Biden pada KTT tersebut seolah menegaskan kembali apa yang disampaikannya pada kampanye Pemilu AS di mana dia berhadapan dengan kompetitornya, yakni Donald Trump. Di hadapan para peserta KTT yang hadir secara virtual, Biden menegaskan pentingnya para pemimpin melakukan langkah lebih banyak untuk menghadapi perubahan iklim.
Pesan Biden saat itu antara lain, para pemimpin negara harus mengurangi emisi gas buang yang menurutnya tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua orang.
Akan tetapi komitmen yang digaungkan para pemimpin dunia untuk mengurangi pemanasan global sedikit mendapat sindiran dari Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol. Sehari setelah pertama KTT dibuka, dia memperingatkan bahwa negara-negara di dunia pada saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi pada memburuknya udara akibat polusi.
Birol mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pada data IEA yang menyebutkan bahwa tahun ini permintaan batu bara di dunia masih tumbuh sekitar 4,5%, terutama untuk menyokong kebutuhan pembangkit listrik. Untuk itu Birol menyebut bahwa saat ini data yang ada tidak sesuai dengan retorika sehingga membuat kesenjangan antara udara bersih dengan ambisi para pemimpin dunia kian melebar.
“Kami tidak pulih dari Covid secara berkelanjutan. Kami masih tetap berada di jalur pemanasan global yang berbahaya,” ucap Birol seperti dikutipNew York Times.
Bentuk komitmen para pemimpin negara dalam mengurusi bumi ini salah satunya dilakukan dengan digelarnya inisiatif Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang digelar secaraonline. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu peserta yang memberikan pandangannya dari Istana Bogor.
Dalam KTT tersebut Presiden AS Joe Biden selaku pengundang mendatangkan 40 pimpinan negara, termasuk Jokowi. Para pemimpin lain dari negara-negara ekonomi raksasa seperti China juga tampak hadir.
Dari sekian banyak agenda yang disampaikan, isu energi terbarukan (renewable energy) dan energi bersih menjadi salah satu perhatian penting dalam KTT tersebut. Bahkan Biden selaku pemrakarsa mengingatkan kembali perlunya menambah investasi di sektor energi terbarukan.
Apa yang disampaikan Biden pada KTT tersebut seolah menegaskan kembali apa yang disampaikannya pada kampanye Pemilu AS di mana dia berhadapan dengan kompetitornya, yakni Donald Trump. Di hadapan para peserta KTT yang hadir secara virtual, Biden menegaskan pentingnya para pemimpin melakukan langkah lebih banyak untuk menghadapi perubahan iklim.
Pesan Biden saat itu antara lain, para pemimpin negara harus mengurangi emisi gas buang yang menurutnya tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua orang.
Akan tetapi komitmen yang digaungkan para pemimpin dunia untuk mengurangi pemanasan global sedikit mendapat sindiran dari Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol. Sehari setelah pertama KTT dibuka, dia memperingatkan bahwa negara-negara di dunia pada saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi pada memburuknya udara akibat polusi.
Birol mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pada data IEA yang menyebutkan bahwa tahun ini permintaan batu bara di dunia masih tumbuh sekitar 4,5%, terutama untuk menyokong kebutuhan pembangkit listrik. Untuk itu Birol menyebut bahwa saat ini data yang ada tidak sesuai dengan retorika sehingga membuat kesenjangan antara udara bersih dengan ambisi para pemimpin dunia kian melebar.
“Kami tidak pulih dari Covid secara berkelanjutan. Kami masih tetap berada di jalur pemanasan global yang berbahaya,” ucap Birol seperti dikutipNew York Times.
Lihat Juga :
tulis komentar anda