Ekonomi Syariah Masih Lamban

Jum'at, 23 April 2021 - 05:10 WIB
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan keuangan syariah terus bergeliat justru di saat pandemi Covid-19 melanda. (Ilustrasi: SINDOnews/Wawan Bastian)
PENERAPAN sistem ekonomi dan keuangan syariah telah berkembang pesat pada sejumlah negara dengan mayoritas penduduk nonmuslim. Contoh paling akurat adalah Inggris. London sebagai ibu kota Inggris telah menjadi pusat bisnis dan keuangan syariah di kawasan Eropa. Belum lama ini Bank of England telah menghadirkan instrumen likuiditas khusus berbasis syariah. Melalui instrumen tersebut, perbankan dan instrumen syariah di Inggris bisa mendapatkan akses sesuai prinsip syariah dari bank sentralnya.

Secara global, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah memang terus melaju. Setidaknya dapat dilihat laporan yang dipublikasikan oleh Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD), aset keuangan syariah global terus bertambah. Pada 2019 lalu aset keuangan syariah global tercatat USD2,88 triliun, dan diprediksi akan mencapai sebesar USD3,69 triliun pada 2024. Untuk Indonesia, pasar keuangan syariah tidak hanya melalui perbankan syariah tetapi juga mencakup asuransi, pasar modal, hingga financial technology (fintech) syariah.

Sayangnya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dinilai terlambat menerapkan dan mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut Malaysia telah melangkah lebih jauh dalam menerapkan dan mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Erick yang juga menjabat Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) mengungkapkan, Indonesia baru memulai sistem ekonomi dan keuangan syariah pada 1991 silam yang ditandai dengan pendirian bank syariah pertama, yakni Bank Muamalat Indonesia. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah menggarap sistem ekonomi syariah sejak 1963.

Walau demikian, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan keuangan syariah terus bergeliat justru di saat pandemi Covid-19 melanda. Tengok saja sektor jasa keuangan syariah tumbuh melampaui jasa keuangan konvensional. Tahun lalu berdasarkan data publikasi resmi pemerintah, tercatat pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai sebesar 10,9%, bandingkan pertumbuhan aset perbankan konvensional yang hanya membukukan sekitar 7,7%.



Begitu pula untuk dana pihak ketiga (DPK) menunjukkan pengumpulan oleh perbankan syariah melampaui perbankan konvensional. DPK yang masuk ke perbankan syariah meningkat 11,5% atau unggul tipis apabila dibandingkan pertumbuhan DPK perbankan konvensional sebesar 11,49%. Fakta lain yang menunjukkan kinerja perbankan syariah cukup kinclong di masa pandemi Covid-19 adalah angka pembiayaan. Dalam sisi pembiayaan, langkah perbankan syariah bertumbuh sebesar 9,42% jauh meninggalkan pembiayaan oleh perbankan konvensional yang hanya bertumbuh sebesar 0,55%.

Lalu, di mana posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang berpotensi besar mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah ke depan? Mengutip data yang dibeberkan pihak MES, ekonomi syariah Indonesia bertengger di level empat di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UAE). Adapun posisi Indonesia di kancah pasar keuangan syariah menempati urutan keenam setelah Malaysia, Arab Saudi, UEA, Yordania, dan Bahrain. Walau masih tertinggal, Erick sangat optimistis keuangan syariah bakal berkembang lebih cepat menyusul terbentuknya Bank Syariah Indonesia (BSI)--hasil merger bank syariah milik pemerintah. BSI diharapkan menjadi pemain utama perbankan syariah domestik dan masuk menjadi 10 bank syariah terbesar di dunia.

Sebaliknya, menyangkut ekonomi syariah, dalam hal ini produk halal Indonesia, belum bisa berbicara banyak. Bahkan, kalah dari sejumlah negara, sebut saja di antaranya Brasil dan Australia. Pemerintah mengakui potensi ekonomi syariah belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia yang berpenduduk 78% beragama Islam hanya menjadi pasar empuk dari negara yang justru berpenduduk mayoritas nonmuslim. Adapun negara produsen produk halal berdasarkan data dari State of the Global Islamic Economy (SGIE) yang dipublikasi 2019 lalu, terbesar dari Amerika Serikat (AS), disusul India, lalu Brasil, Prancis, dan Rusia. Kelima negara tersebut menguasai sekitar USD255 miliar transaksi perdagangan dunia melalui produk halal.

Atas nama pengembangan ekonomi syariah, Bank Indonesia (BI) telah melirik pesantren sebagai motor pertumbuhan ke depan. Pihak BI berencana membentuk holding Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren). Bank sentral menilai potensi ekonomi syariah di pesantren sangat besar. Hal itu dapat dilihat dari jumlah pesantren yang mencapai 27.772 dengan 5 juta santri. Dengan potensi besar itu pesantren bisa menjadi pemain kunci dalam ekonomi syariah. Hanya saja selama ini potensi tersebut belum dimaksimalkan. Pihak BI optimistis melalui holding Hebitren dapat membuka akses pembiayaan para pelaku usaha pesantren yang bergerak di industri halal.

Memang harus diakui dalam berbagai hal, Indonesia selalu terlambat bergerak. Tidak hanya pada ekonomi dan keuangan syariah. Mungkin terhipnotis oleh kata-kata “potensi besar”. Padahal, potensi yang besar tidak akan memberi manfaat tanpa aksi nyata.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More