Mengenal Fransisca Fanggidaej, Perempuan Pejuang asal NTT yang Terlupakan

Selasa, 20 April 2021 - 17:15 WIB
Francisca Fanggidaej bertemu dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro dalam suatu kesempatan di Havana. Sejak remaja, Fransisca telag getol berjuang melawan penjajah. Foto/Dokumen Keluarga
JAKARTA - Setiap 21 April, Hari Kartini dirayakan Bangsa Indonesia. Kartini atau nama lengkap Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan nasional yang berjuang membela hak-hak kaum perempuan. Ada banyak pahlawan di Indonesia dari kalangan perempuan, tidak hanya Kartini.

Ada juga yang tidak masuk buku sejarah anak sekolah di Indonesia. Francisca Fanggidaej salah satunya. Nenek dari aktor ternama Reza Rahadian itu pernah ikut menentang kolonialisme sejak muda dan berjuang pascakemerdekaan.

Dikutip dari channel Youtune Anna Marsiana, jejak wanita kelahiran Noel Mina, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Agustus 1925 itu hilang sejak peristiwa 65 atau disebut Gestok atau G30S/PKI. “Jejaknya hilang sejak peristiwa 65 karena kedekatannya dengan Soekarno yang membuatnya riskan, berisiko untuk mendapatkan stigma kiri, atau berasosiasi dengan komunis."

Seringnya berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku pada masa pendudukan Jepang di Surabaya membuat kesadaran antikolonialismenya terus terasah. Semangat anak dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej itu mengantarkannya pada perjuangan kemerdekaan saat revolusi pecah pada 1945.

Dia juga aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Anak “Belanda Hitam”, julukan bagi orang pribumi yang statusnya disamakan dengan orang Belanda itu juga ikut dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta pada November 1945.



Francisca bersama para pemuda dari Surabaya meninggalkan kongres saat pertempuran Surabaya pecah, untuk berangkat ke medan pertempuran. Dia aktif di berbagai organisasi, diantaranya di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Dia kemudian aktif di Radio Gelora Pemoeda Indonesia setelah pindah ke Madiun. Di Radio yang di bawah Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) itu, dia bertugas siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda. Belanda pun mencap Radio Gelora Pemoeda Indonesia sebagai pemberontak dan ekstremis.

“Kalaupun kata ‘memberontak’ kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar desa masuk desa membunuhi rakyat, demikian kata Francisca,” lanjut Anna Marsiana mengutip dari historia.id.

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More