Atasi Defisit, DPR Minta Tata Kelola BPJS Kesehatan Dirombak Total
Rabu, 20 Mei 2020 - 15:35 WIB
Menurut Anggia, selama ini masyarakat masih punya anggapan mumpung ada BPJS sehingga penyakit apapun diklaim. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana BPJS melakukan promosi preventif yang maksimal sehingga ke depan masyarakat semakin sehat. Buntutnya, tidak banyak masyarakat yang harus berobat dengan anggaran BPJS.
"Promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagain besar anggaran dipakai untuk kuratif. Padahal kita kan semangatya bagaimana masyakarat tidak usah sakit sehingga tak usah klaim ke BPJS," urainya.
Dikatakan Anggia, harus ada mekanisme bagaimana memanfaatkan anggaran BPJS sehingga tidak semua pembiayaan kesehatan dibiayai negara, tetapi negara harus hadir dalam persoalan kesehatan masyarakat. "Menurut saya perlu dikaji ulang dan dilakukan reformasi yang luar biasa, terutama tentang promotif preventif itu," katanya.
Anggia menegaskan, untuk menutup defisit maka manajemen pengelolaan BPJS mulai dari administrasi sampai ke penerima manfaat itu harus dibongkar. "Rekomendasi KPK kan juga seperti itu, membongkar manajemen di BPJS itu, bagaimana kita menyesuaikan sehingga uang segitu itu bisa bermanfaat maksimal bagi masyarakat. Agak repot, dan memang harus repot, harus bekerja keras, harus menguras otak untuk bisa menemukan formulasi yang paling tepat," kata Ketua Umum PP Fatayat NU ini.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengungkap data penyumbang defisit BPJS Kesehatan terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang.
Dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta, total iuran dari PBPU itu sebesar Rp12,4 triliun. Namun, klaimnya jauh melebihi total iuran, yakni mencapai Rp39,8 triliun. "Alias defisit Rp27,4 triliun," kata Yustinus melalui akun Twitternya, Sabtu (16/5/ 2020).
Per 30 April 2020, total peserta 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran 90 juta, lalu penduduk yang didaftarkan Pemda 36 juta orang.
Untuk PBI sebanyak 96,5 juta orang itu iurannya dibayar pemerintah, sampai saat ini tak berubah. Lalu BPBI 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, swasta 35,6 juta. Sedangkan PBPU/BU sekitar 35 juta orang. Dua kelompok terakhir inilah yang selama ini membayar iuran sendiri atau mandiri. (Baca juga: Dana Kesehatan Rp75 Triliun Lawan Corona Termasuk Subsidi BPJS Kesehatan )
Sedangkan kinerja keuangan BPJS, untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) surplus Rp11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp1,3 triliun, pekerja formal swasta surplus Rp12,1 triliun. Sedangkan pekerja informal, defisit Rp20,9 triliun, dan bukan pekerja defisit Rp6,5 triliun. Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp15,6 triliun.
"Promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagain besar anggaran dipakai untuk kuratif. Padahal kita kan semangatya bagaimana masyakarat tidak usah sakit sehingga tak usah klaim ke BPJS," urainya.
Dikatakan Anggia, harus ada mekanisme bagaimana memanfaatkan anggaran BPJS sehingga tidak semua pembiayaan kesehatan dibiayai negara, tetapi negara harus hadir dalam persoalan kesehatan masyarakat. "Menurut saya perlu dikaji ulang dan dilakukan reformasi yang luar biasa, terutama tentang promotif preventif itu," katanya.
Anggia menegaskan, untuk menutup defisit maka manajemen pengelolaan BPJS mulai dari administrasi sampai ke penerima manfaat itu harus dibongkar. "Rekomendasi KPK kan juga seperti itu, membongkar manajemen di BPJS itu, bagaimana kita menyesuaikan sehingga uang segitu itu bisa bermanfaat maksimal bagi masyarakat. Agak repot, dan memang harus repot, harus bekerja keras, harus menguras otak untuk bisa menemukan formulasi yang paling tepat," kata Ketua Umum PP Fatayat NU ini.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengungkap data penyumbang defisit BPJS Kesehatan terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang.
Dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta, total iuran dari PBPU itu sebesar Rp12,4 triliun. Namun, klaimnya jauh melebihi total iuran, yakni mencapai Rp39,8 triliun. "Alias defisit Rp27,4 triliun," kata Yustinus melalui akun Twitternya, Sabtu (16/5/ 2020).
Per 30 April 2020, total peserta 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran 90 juta, lalu penduduk yang didaftarkan Pemda 36 juta orang.
Untuk PBI sebanyak 96,5 juta orang itu iurannya dibayar pemerintah, sampai saat ini tak berubah. Lalu BPBI 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, swasta 35,6 juta. Sedangkan PBPU/BU sekitar 35 juta orang. Dua kelompok terakhir inilah yang selama ini membayar iuran sendiri atau mandiri. (Baca juga: Dana Kesehatan Rp75 Triliun Lawan Corona Termasuk Subsidi BPJS Kesehatan )
Sedangkan kinerja keuangan BPJS, untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) surplus Rp11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp1,3 triliun, pekerja formal swasta surplus Rp12,1 triliun. Sedangkan pekerja informal, defisit Rp20,9 triliun, dan bukan pekerja defisit Rp6,5 triliun. Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp15,6 triliun.
(kri)
tulis komentar anda