Ketua Dewan Pembina Pinkan Indonesia Berharap Kolintang Jadi Warisan Budaya
Jum'at, 26 Maret 2021 - 14:51 WIB
Hal ini bertransmutasi pada kolintang gong ke dalam kolintang kayu, yang kemudian berlanjut dari orkes kolintang menjadi kolintang melulu dan menjadi Ansambel Musik Kolintang Kayu Minahasa. Melalui Nelwan Katuuk, kolintang yang sebelumnya berada di luar garis masyarakat yang sedang berubah dengan masuknya budaya barat, tetap terhubung dengan tradisional dalam lingkup budaya namun tanpa ritual.
“Pada era peperangan, di mana masyarakat sipil mengungsi di hutan atau perkebunan, ada kesulitan tersendiri ketika musik dibutuhkan untuk ibadah, terutama ketiak alat musik barat tersebut putus senarnya. Suasana ini memunculkan perkembangan dengan pemikiran untuk menggantikan alat musik barat tersebut dengan kayu yang memang tersedia di hutan,” ujar Marsetio.
Kini, kata Marsetio, kolintang telah mampu menjadi salah satu alat diplomasi, baik antardaerah di Indonesia maupun di luar negeri dengan transformasi nilai-nilai harmonis dan kebersamaan. Tanpa disadari, ini juga sekaligus merupakan penetrasi budaya dalam eksistensi dari pengaruh globalisasi modernisasi.
Hal ini didukung data penyebaran AMKK yang telah eksis di dalam negeri dari Sabang sampai Merauke dengan keberadaan lebih dari 1.000 grup kolintang aktif. Selain itu, berdasarkan catatan Pinkan Indonesia, para pengrajin kolintang telah mengirimkan lebih dari 500 set instrumen kolintang ke berbagai negara dari 1975 sampai 2016.
“Dengan demikian, selain diperjuangkan untuk dicatatkan pada daftar warisan budaya dunia (Ingentable Cultural Heritage) Unesco atau Warisan Budaya Hidup, bangsa Indonesia pun sekaligus mempersembahkan kolintang untuk dunia,” kata Marsetio.
“Pada era peperangan, di mana masyarakat sipil mengungsi di hutan atau perkebunan, ada kesulitan tersendiri ketika musik dibutuhkan untuk ibadah, terutama ketiak alat musik barat tersebut putus senarnya. Suasana ini memunculkan perkembangan dengan pemikiran untuk menggantikan alat musik barat tersebut dengan kayu yang memang tersedia di hutan,” ujar Marsetio.
Kini, kata Marsetio, kolintang telah mampu menjadi salah satu alat diplomasi, baik antardaerah di Indonesia maupun di luar negeri dengan transformasi nilai-nilai harmonis dan kebersamaan. Tanpa disadari, ini juga sekaligus merupakan penetrasi budaya dalam eksistensi dari pengaruh globalisasi modernisasi.
Hal ini didukung data penyebaran AMKK yang telah eksis di dalam negeri dari Sabang sampai Merauke dengan keberadaan lebih dari 1.000 grup kolintang aktif. Selain itu, berdasarkan catatan Pinkan Indonesia, para pengrajin kolintang telah mengirimkan lebih dari 500 set instrumen kolintang ke berbagai negara dari 1975 sampai 2016.
“Dengan demikian, selain diperjuangkan untuk dicatatkan pada daftar warisan budaya dunia (Ingentable Cultural Heritage) Unesco atau Warisan Budaya Hidup, bangsa Indonesia pun sekaligus mempersembahkan kolintang untuk dunia,” kata Marsetio.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda