Ketua Dewan Pembina Pinkan Indonesia Berharap Kolintang Jadi Warisan Budaya

Jum'at, 26 Maret 2021 - 14:51 WIB
Ketua Dewan Pembina Pinkan Indonesia Laksamana (Purn) Marsetio saat mengelar seminar Kolintang Goes to Unesco di Jakarta, Kamis (25/3/2021). Foto/Istimewa
JAKARTA - Persatuan Insan Kolintang Nasional ( Pinkan ) Indonesia berharap kolintang menjadi warisan budaya tak benda milik Indonesia dan dapat menjadi warisan berharga bagi dunia oleh Unesco pada 2023.

Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pembina Pinkan Indonesia Laksamana (Purn) Marsetio saat mengelar seminar “Kolintang Goes to Unesco” di Jakarta, Kamis (25/3/2021).

Seminar digelar sebagai upaya Pinkan untuk terus memperjuangkan pengakuan dunia terhadap seni musik tradisional kolintang. Kegiatan digelar agar alat musik kolintang kayu (AMKK) Minahasa, yakni kolintang Minahasa sebagai Warisan Budaya Tak Benda asal Indonesia pada Badan PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco).

Seminar yang mengangkat tema “Ansambel Musik Kolintang Kayu Asli Minahasa Dipersembahkan Sulawesi Utara untuk Dunia” digelar atas kerja sama Pinkan dan RRI. Diharapkan kolintang menjadi warisan budaya tak benda milik Indonesia dapat dipilih dan dipersembahkan menjadi warisan yang berharga bagi dunia oleh Unesco pada 2023.

Marsetio mengatakan, ansambel musik kolintang adalah suatu tradisi kehidupan masyarakat Minahasa yang berawal dari kegiatan ritual kuno, seperti memanggil arwah leluhur, dengan menggunakan tiga bilah kayu. Kemudian, alat musik berkembang dengan bahan logam dalam bentuk gong kolintang atau kolintang gong 5 di era Majapahit.



“Kemudian, berlanjut pada kolintang 7 bilah pengganti tala nada. Pada masa masuknya Portugis, Spanyol, dilanjutkan oleh Belanda, memungkinkan masyarakat Minahasa mengadaptasinya ke dalam bunyi-bunyian yang memiliki keteraturan, yang kemudian menjadi nada-nada sesuai pengaruh yang di bawah bangsa-bangsa asing tersebut,” kata Marsetio.

Disebutkan, kekristenan kemudian membuat ritual bunyi-bunyi kayu ini terpinggirkan bahkan nyaris punah dengan menyatakan bahwa ritual atau ritus tersebut sebagai berhala. Akibatnya, kolintang yang telah berkembang dari permainan 3 bilah hingga 7 bilah menjadi permainan musik bagi rakyat yang digunakan pada saat proses olah kelapa membuat kopra di ladang perkebunan.

Marsetio mengungkapkan, keberadaan Nelwan Katuuk, seorang difabel namun memiliki kemampuan bermain kolintang, tentunya memiliki alasan mengapa Kolintang justru dipopulerkan olehnya. Hal ini disebabkan karena Nelwan tidak dilarang oleh komunitas di Tanah Tonsea, termasuk pemimpin umat atau jemaat gereja, karena kuatnya kekristenan yang ada di tanah Minahasa.

Dengan perjuangan gigih Nelwan pula yang kemudian mentransmisikan nilai bunyi-bunyian ke nada-nada universal kepada orang orang di sekitarnya. Ini menjadikan suatu dukungan dengan memberikan tempat untuk Nelwan dalam satu grup permainan musik yang berupa alat-alat musik barat, seperti gitar, banyo, ukulele, dan bas string.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More