Sudah Idealkah Masa Jabatan Presiden Dua Periode?
Sabtu, 20 Maret 2021 - 08:35 WIB
JAKARTA - Wacana amandemen UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali mencuat belakangan ini dan ramai diperbincangkan. Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang mengusulkan belakangan ini. Wacana itu sebenarnya pernah muncul pada akhir 2019 lalu. Saat itu, Fraksi Partai Nasdem di DPR RI yang memunculkan ide tersebut.
Saat itu juga Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan tidak akan menyetujui amandemen UUD 1945 jika salah satu isinya adalah mengubah masa jabatan kepala negara menjadi tiga periode. Melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021), Presiden Jokowi pun menegaskan tidak berniat dan tak berminat menjadi presiden tiga periode.
Adapun ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden itu ada pada Pasal 7 UUD 1945, bunyinya adalah Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Lalu, apakah masa jabatan presiden dan wakil presiden dua periode itu sudah ideal? “Sebetulnya bukan persoalan periodeisasi yang membuat pemerintahan tidak efektif, program setengah jalan atau terjadi polarisasi tajam di masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab kepada SINDOnews, Sabtu (20/3/2021).
Menurut dia, persoalannya adalah bagaimana kepala negara, presiden, mampu mengonsolidasi demokrasi, khususnya mengelola birokrasi agar program dan kebijakan berjalan baik dan terukur. “Menjadikan demokrasi dan penegakan hukum yang independen sebagai satu-satunya sarana menghindari otoritarianisme,” tuturnya.
Dia berpendapat, kalau hanya berkutat pada periodik, masing-masing punya kelemahan. “Meskipun satu, dua, atau tiga periode kalau kebijakan tidak mampu ditafsirkan atau dieksekusi tentu saja akan berdampak pada mandeknya pembangunan. Apakah dua periode sudah ideal? Tentu perlu pendewasaan para pemimpin kita dalam berdemokrasi, sehingga tidak melulu memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Begitu juga kalau masa jabatan presiden 7-8 tahun dalam satu periode, kecenderungan untuk ugal-ugalan justru lebih terbuka,” pungkasnya.
Saat itu juga Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan tidak akan menyetujui amandemen UUD 1945 jika salah satu isinya adalah mengubah masa jabatan kepala negara menjadi tiga periode. Melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021), Presiden Jokowi pun menegaskan tidak berniat dan tak berminat menjadi presiden tiga periode.
Adapun ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden itu ada pada Pasal 7 UUD 1945, bunyinya adalah Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Lalu, apakah masa jabatan presiden dan wakil presiden dua periode itu sudah ideal? “Sebetulnya bukan persoalan periodeisasi yang membuat pemerintahan tidak efektif, program setengah jalan atau terjadi polarisasi tajam di masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab kepada SINDOnews, Sabtu (20/3/2021).
Menurut dia, persoalannya adalah bagaimana kepala negara, presiden, mampu mengonsolidasi demokrasi, khususnya mengelola birokrasi agar program dan kebijakan berjalan baik dan terukur. “Menjadikan demokrasi dan penegakan hukum yang independen sebagai satu-satunya sarana menghindari otoritarianisme,” tuturnya.
Dia berpendapat, kalau hanya berkutat pada periodik, masing-masing punya kelemahan. “Meskipun satu, dua, atau tiga periode kalau kebijakan tidak mampu ditafsirkan atau dieksekusi tentu saja akan berdampak pada mandeknya pembangunan. Apakah dua periode sudah ideal? Tentu perlu pendewasaan para pemimpin kita dalam berdemokrasi, sehingga tidak melulu memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Begitu juga kalau masa jabatan presiden 7-8 tahun dalam satu periode, kecenderungan untuk ugal-ugalan justru lebih terbuka,” pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda