Netizen Diawasi 24 Jam
Rabu, 10 Maret 2021 - 06:08 WIB
Legislator asal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menyebut keberadaan polisi virtual justru dapat meminimalisir tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE. Di mana nantinya, mereka akan diberikan peringatan jika menggugah konten yang melanggar UU ITE.
“Polisi virtual ini kan tidak langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberi teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki," terangnya.
Psikolog sosial Irfan Aulia menilai hadirnya polisi virtual bisa mengekang kebebasan berpendapat. Berkaca pada survei belum lama soal indeks demokrasi Indonesia bermasalah satunya karena adanya pembatasan hak berbicara. Namun, pada prinsipnya polisi ditugaskan untuk menciptakan ketertiban.
"Sekarang harus jelas dulu siapa yang harus ditertibkan dan apa perilakunya. Kalau sudah jelas, orang jadi bisa mengukur diri dan orang lain juga dapat paham bahwa ini hal yang dapat diukur," ungkapnya.
Menurut dia, polisi virtual bukan menjadi bagian dari kebangkitan Polri. Namun, polisi memang diberikan ruang oleh hukum untuk melakukan banyak hal. Dari sisi hukum polisi memang sepertinya mengerjakan banyak hal. Berbeda dengan kepolisian di Amerika Serikat yang jelas polisi mengurus narkotika diurus oleh Drug Enforcement Administration (DEA), Polisi federal oleh FBI dan lainnya. Sementara Polri tidak dibedakan namanya sehingga orang berpendapat polisi seperti sangat dominan pada saat ini.
“Contoh saya, misalnya saya berbicara sebagai psikolog ada unggahan di media sosial yang tidak baik, yang berhak menegur saya HIMPSI, organisasi profesi saya bukan polisi," tegas pengajar di Kampus Universitas Mercu Buana ini.
Dia mengatakan, dengan adanya polisi virtual, masyarakat seharusnya bukan sekadar ditakut-takuti namun harus ditingkatkan literasinya. Sehingga masyarakat paham apa yang dibaca di media sosial, sadar untuk selalu hati-hati dalam berbicara, memiliki etika, beropini berdasarkan fakta dan data. “Itulah budaya literasi, sehingga masyarakat tidak perlu diawasi lagi,” ujarnya.
“Polisi virtual ini kan tidak langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberi teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki," terangnya.
Psikolog sosial Irfan Aulia menilai hadirnya polisi virtual bisa mengekang kebebasan berpendapat. Berkaca pada survei belum lama soal indeks demokrasi Indonesia bermasalah satunya karena adanya pembatasan hak berbicara. Namun, pada prinsipnya polisi ditugaskan untuk menciptakan ketertiban.
"Sekarang harus jelas dulu siapa yang harus ditertibkan dan apa perilakunya. Kalau sudah jelas, orang jadi bisa mengukur diri dan orang lain juga dapat paham bahwa ini hal yang dapat diukur," ungkapnya.
Menurut dia, polisi virtual bukan menjadi bagian dari kebangkitan Polri. Namun, polisi memang diberikan ruang oleh hukum untuk melakukan banyak hal. Dari sisi hukum polisi memang sepertinya mengerjakan banyak hal. Berbeda dengan kepolisian di Amerika Serikat yang jelas polisi mengurus narkotika diurus oleh Drug Enforcement Administration (DEA), Polisi federal oleh FBI dan lainnya. Sementara Polri tidak dibedakan namanya sehingga orang berpendapat polisi seperti sangat dominan pada saat ini.
“Contoh saya, misalnya saya berbicara sebagai psikolog ada unggahan di media sosial yang tidak baik, yang berhak menegur saya HIMPSI, organisasi profesi saya bukan polisi," tegas pengajar di Kampus Universitas Mercu Buana ini.
Dia mengatakan, dengan adanya polisi virtual, masyarakat seharusnya bukan sekadar ditakut-takuti namun harus ditingkatkan literasinya. Sehingga masyarakat paham apa yang dibaca di media sosial, sadar untuk selalu hati-hati dalam berbicara, memiliki etika, beropini berdasarkan fakta dan data. “Itulah budaya literasi, sehingga masyarakat tidak perlu diawasi lagi,” ujarnya.
(ynt)
tulis komentar anda