Membangkitkan Pangan Lokal di Masa Pandemi
Selasa, 09 Maret 2021 - 05:00 WIB
Budi daya pangan lokal di level rumah tangga dapat lestari apabila masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang pembenihan dan pembibitan. Idealnya, ketika produksi pangan lokal semakin berkembang, maka perlu ada pasar yang mampu menyerap produknya. Namun, sebaiknya kita jangan berharap terlalu muluk dulu. Inti dari gerakan pemanfaatan pekarangan berbasis pangan lokal bukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, tetapi lebih pada mengurangi belanja pangan rumah tangga.
Perhatian terhadap lahan pekarangan layak dihidupkan kembali. Lahan pekarangan dapat menjadi sumber produksi pangan lokal dalam lingkungan rumah tangga. Penyebutan pekarangan dengan istilah lumbung hidup, warung hidup, apotek hidup, dan tabungan hidup mempunyai makna yang sangat positif. Disebut lumbung hidup karena sewaktu-waktu persediaan pangan habis dapat diperoleh bahan-bahan seperti sayuran, buah, umbi-umbian, telur, daging unggas, atau ikan. Bahan-bahan tersebut tersimpan di pekarangan dalam keadaan hidup. Disebut warung hidup karena sewaktu-waktu uang belanja habis kita tetap dapat memperoleh sayuran dari pagar atau pohon-pohonan seperti melinjo, kemang, kelor, dan lain-lain. Disebut apotek hidup karena sewaktu-waktu ada yang sakit kita dapat memetik sirih dari pekarangan untuk pengobatan luka, daun ingu untuk mengompres panas atau temulawak untuk menambah nafsu makan.
Peranan pekarangan dalam menunjang kebutuhan pangan dan gizi telah dikaji dalam berbagai penelitian. Di Thailand, lahan pekarangan berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi sayuran dan pemanfaatan pekarangan dapat lebih menghemat pengeluaran atau belanja keluarga. Studi Diet Total (2014) menunjukkan bahwa lebih dari 90% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayuran dan buah.
Dulu, ketika program gizi di Indonesia dicanangkan sebagai upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK) ragam kegiatannya bukan hanya menimbang anak balita setiap bulan. Pemanfaatan pekarangan juga menjadi kegiatan andalan, dan oleh sebab itu UPGK dalam implementasinya juga melibatkan sektor pertanian.
Saat ini kita lebih mengenal UPGK yang telah berganti baju menjadi posyandu. Fokus kegiatan pertanian (baca: pekarangan) dalam posyandu sudah sirna. Para penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak hirau terhadap posyandu karena mereka lebih fokus pada target untuk menggenjot produksi beras.
Posyandu yang menjadi ujung tombak pelayanan gizi masyarakat hendaknya jangan terfokus pada masalah kesehatan saja, tetapi juga harus bisa menggerakkan ibu-ibu pesertanya untuk mengembangkan pertanian pangan lokal (sayuran dan umbi-umbian). Pangan sumber gizi tidak harus dibeli apabila setiap rumah tangga mampu mengelola pekarangannya dengan baik. Hasil pangan lokal dari pekarangan yang dikelola posyandu dapat menjadi modal pembuatan makanan tambahan bagi anak-anak balita yang setiap bulan datang ke posyandu. Perbaikan gizi dapat terwujud secara mandiri dari kekuatan produksi pangan lokal yang dihasilkan dari pekarangan masyarakat.
Perhatian terhadap lahan pekarangan layak dihidupkan kembali. Lahan pekarangan dapat menjadi sumber produksi pangan lokal dalam lingkungan rumah tangga. Penyebutan pekarangan dengan istilah lumbung hidup, warung hidup, apotek hidup, dan tabungan hidup mempunyai makna yang sangat positif. Disebut lumbung hidup karena sewaktu-waktu persediaan pangan habis dapat diperoleh bahan-bahan seperti sayuran, buah, umbi-umbian, telur, daging unggas, atau ikan. Bahan-bahan tersebut tersimpan di pekarangan dalam keadaan hidup. Disebut warung hidup karena sewaktu-waktu uang belanja habis kita tetap dapat memperoleh sayuran dari pagar atau pohon-pohonan seperti melinjo, kemang, kelor, dan lain-lain. Disebut apotek hidup karena sewaktu-waktu ada yang sakit kita dapat memetik sirih dari pekarangan untuk pengobatan luka, daun ingu untuk mengompres panas atau temulawak untuk menambah nafsu makan.
Peranan pekarangan dalam menunjang kebutuhan pangan dan gizi telah dikaji dalam berbagai penelitian. Di Thailand, lahan pekarangan berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi sayuran dan pemanfaatan pekarangan dapat lebih menghemat pengeluaran atau belanja keluarga. Studi Diet Total (2014) menunjukkan bahwa lebih dari 90% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayuran dan buah.
Dulu, ketika program gizi di Indonesia dicanangkan sebagai upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK) ragam kegiatannya bukan hanya menimbang anak balita setiap bulan. Pemanfaatan pekarangan juga menjadi kegiatan andalan, dan oleh sebab itu UPGK dalam implementasinya juga melibatkan sektor pertanian.
Saat ini kita lebih mengenal UPGK yang telah berganti baju menjadi posyandu. Fokus kegiatan pertanian (baca: pekarangan) dalam posyandu sudah sirna. Para penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak hirau terhadap posyandu karena mereka lebih fokus pada target untuk menggenjot produksi beras.
Posyandu yang menjadi ujung tombak pelayanan gizi masyarakat hendaknya jangan terfokus pada masalah kesehatan saja, tetapi juga harus bisa menggerakkan ibu-ibu pesertanya untuk mengembangkan pertanian pangan lokal (sayuran dan umbi-umbian). Pangan sumber gizi tidak harus dibeli apabila setiap rumah tangga mampu mengelola pekarangannya dengan baik. Hasil pangan lokal dari pekarangan yang dikelola posyandu dapat menjadi modal pembuatan makanan tambahan bagi anak-anak balita yang setiap bulan datang ke posyandu. Perbaikan gizi dapat terwujud secara mandiri dari kekuatan produksi pangan lokal yang dihasilkan dari pekarangan masyarakat.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda