Kerukunan Umat Beragama dan Peran FKUB
Kamis, 25 Februari 2021 - 14:49 WIB
M Soleh
Analis Kebijakan Muda Bidang Politik, Hukum dan Otonomi Daerah Sekretariat Wakil Presiden
BELAKANGAN ini di Tanah Air kembali diramaikan oleh sebuah pemberitaan yang menerpa dunia pendidikan, yang ditengarai dapat berpotensi mengusik rasa kerukunan antar umat beragama, sebagaimana yang terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Pihak sekolah mewajibkan penggunaan jilbab kepada siswi yang bukan muslim.
Peristiwa yang disebut banyak pihak sebagai tindakan intoleran ini sebenarnya sudah kerap terjadi. Sebaliknya, misalnya adanya larangan dari pihak sekolah bagi siswi muslim untuk mengenakan jilbab di pada saat pembelajaran di sekolah. Kedua peristiwa tersebut biasanya berlindung di balik aturan internal di sekolah atau paling tinggi aturan dari pejabat di tingkat kota/kabupaten. Kedua tindakan tersebut patut diduga sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama/keyakinan.
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah sedemikian teruji puluhan bahkan ratusan tahun di republik ini. Sebagian besar umat beragama di Indonesia dikenal memiliki sikap toleransi yang tinggi, yang menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan. Namun, bukan berarti berbagai kasus pelanggaran dan konflik berbasis agama tidak pernah terjadi.
Indonesia memiliki banyak catatan, dari peristiwa pelanggaran yang paling ringan, konflik karena pendirian rumah ibadah, sampai konflik yang menelan korban jiwa, menimbulkan ratusan korban luka-luka dan kerusakan sarana umum.
Saat ini, terjadi pelanggaran berbasis agama di pelosok negeri sekalipun, dengan sarana media sosial mudah sekali tersiar dan viral. Ini pertanda yang semakin meyakinkan bahwa urusan agama dan keyakinan jauh lebih sensitif dibandingkan dengan kesadaraan menghadapi perbedaan di bidang lainnya.
Sebagai gambaran, kondisi toleransi kerukunan umat beragama di Indonesia dapat dilihat berdasarkan data-data berikut. Berdasarkan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia tahun 2019 menunjukkan kategori tinggi, yaitu 73,83. Nilai ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang berada pada angkan 70,90. Indeks ini pun sejalan dengan Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2019 dari Wahid Foundation.
Laporan Wahid Foundation menyatakan jumlah pelanggaran pada tahun 2019 sebanyak 184 peristiwa dengan 215 tindakan. Jumlah ini sedikit turun bila dibanding tahun 2018 yang berjumlah 192 peristiwa dengan 276 tindakan. Temuan ini juga menunjukkan adanya tren penurunan yang berlanjut selama tiga tahun terakhir, baik pada kategori peristiwa maupun tindakan. Ini tidak jauh berbeda dengan data dari Setara Institute yang menyatakan sepanjang tahun 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Walaupun kondisi di atas menunjukkan kemajuan atas kerukunan umat beragama di Indonesia, namun sesungguhnya permasalahan intoleransi tampaknya belum sepenuhnya surut dari negeri ini.
Analis Kebijakan Muda Bidang Politik, Hukum dan Otonomi Daerah Sekretariat Wakil Presiden
BELAKANGAN ini di Tanah Air kembali diramaikan oleh sebuah pemberitaan yang menerpa dunia pendidikan, yang ditengarai dapat berpotensi mengusik rasa kerukunan antar umat beragama, sebagaimana yang terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Pihak sekolah mewajibkan penggunaan jilbab kepada siswi yang bukan muslim.
Peristiwa yang disebut banyak pihak sebagai tindakan intoleran ini sebenarnya sudah kerap terjadi. Sebaliknya, misalnya adanya larangan dari pihak sekolah bagi siswi muslim untuk mengenakan jilbab di pada saat pembelajaran di sekolah. Kedua peristiwa tersebut biasanya berlindung di balik aturan internal di sekolah atau paling tinggi aturan dari pejabat di tingkat kota/kabupaten. Kedua tindakan tersebut patut diduga sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama/keyakinan.
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah sedemikian teruji puluhan bahkan ratusan tahun di republik ini. Sebagian besar umat beragama di Indonesia dikenal memiliki sikap toleransi yang tinggi, yang menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan. Namun, bukan berarti berbagai kasus pelanggaran dan konflik berbasis agama tidak pernah terjadi.
Indonesia memiliki banyak catatan, dari peristiwa pelanggaran yang paling ringan, konflik karena pendirian rumah ibadah, sampai konflik yang menelan korban jiwa, menimbulkan ratusan korban luka-luka dan kerusakan sarana umum.
Saat ini, terjadi pelanggaran berbasis agama di pelosok negeri sekalipun, dengan sarana media sosial mudah sekali tersiar dan viral. Ini pertanda yang semakin meyakinkan bahwa urusan agama dan keyakinan jauh lebih sensitif dibandingkan dengan kesadaraan menghadapi perbedaan di bidang lainnya.
Sebagai gambaran, kondisi toleransi kerukunan umat beragama di Indonesia dapat dilihat berdasarkan data-data berikut. Berdasarkan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia tahun 2019 menunjukkan kategori tinggi, yaitu 73,83. Nilai ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang berada pada angkan 70,90. Indeks ini pun sejalan dengan Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2019 dari Wahid Foundation.
Laporan Wahid Foundation menyatakan jumlah pelanggaran pada tahun 2019 sebanyak 184 peristiwa dengan 215 tindakan. Jumlah ini sedikit turun bila dibanding tahun 2018 yang berjumlah 192 peristiwa dengan 276 tindakan. Temuan ini juga menunjukkan adanya tren penurunan yang berlanjut selama tiga tahun terakhir, baik pada kategori peristiwa maupun tindakan. Ini tidak jauh berbeda dengan data dari Setara Institute yang menyatakan sepanjang tahun 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Walaupun kondisi di atas menunjukkan kemajuan atas kerukunan umat beragama di Indonesia, namun sesungguhnya permasalahan intoleransi tampaknya belum sepenuhnya surut dari negeri ini.
Lihat Juga :
tulis komentar anda