Stres Kian Mengancam
Senin, 22 Februari 2021 - 13:31 WIB
Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun mengonformasi hasil penelitian yang menunjukkan kenaikan kasus orang yang butuh penanganan akibat gangguan mental sejak pandemi. Kasus seperti gangguan tidur menempati posisi paling tinggi yakni 24%, gangguan kecemasan 5%, dan depresi 8%.
Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rena Latifa meminta agar masalah gangguan kesehatan mental ini tidak dianggap remeh. Terutama jika jumlah orang yang menderita semakin meningkat seiring pandemi yang tak juga berkesudahan. Dampak buruk dari gangguan kesehatan mental diakuinya tidak hanya secara mikro, yakni penderita dan keluarga mengalami tekanan, melainkan juga secara makro, yakni berakibat pada menurunnya produktivitas.
“Kadang kita berpikir psikologis itu urusan personal. Tapi hati-hati, ini bisa berpengaruh secara makro, kalau tidak diurus dengan baik. Orang bisa tidak produktif bekerja, akhirnya bisa berdampak ke ekonomi juga,” ujar Rena yang terlibat sebagai peneliti dalam riset ini.
Dijelaskan, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa menimbulkan dua sikap, yakni menarik diri atau melawan. Kalau menarik diri, orang tersebut bisa bersikap “bodoh amat” terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, kalau sikapnya melawan, efeknya bisa lain, misalnya orang tersebut cenderung ingin melawan aturan, mejelekkan instansi tempat bekerja, termasuk bisa melawan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. “Ini sangat mungkin terjadi. Jadi ketidakstabilan individu itu bisa berefek makro, efek domino. Makanya ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Penyebab Gangguan Mental
Stres di masa pandemi bisa dipicu banyak hal. Yang paling umum adalah orang merasa ketakutan tertular virus. Penyebab lain adalah faktor ekonomi karena banyak orang yang harus kehilangan sumber pendapatan akibat di-PHK atau bisnis berhenti. Selain itu, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga berkontribusi karena banyak orang yang kehilangan interaksi dengan orang-orang dekatnya.
Bagi seorang pekerja kantoran, kata Rena, stres bisa terjadi karena rasa tidak percaya diri, merasa tidak punya kemampuan manajemen, misalnya tidak bisa mengatur waktunya antara work from home (WFH) dan work from office (WFO). Sedangkan bagi ibu rumah tangga, stres dipicu antara lain karena keharusan mendampingi anak belajar daring. Stres yang berlangsung lama bisa meningkat menjadi kecemasan. Gangguan kecemasan ditandai ketika seseorang mulai sering merasa takut, panik, tegang, gelisah, bahkan bermimpi buruk.
“Kenyataannya di penelitian kami ada 21,5% orang di level cemas ini. Mungkin kita mengatakan, wajar orang stres karena saat itu dalam masa penyesuain diri di awal-awal pandemi. Tapi, ketika pandemi lanjut dan berlama-lama, stres ini bisa naik ke cemas, bahkan jadi depresi. Harus diwaspadai,” paparnya.
Mengatasi persoalan gangguan mental masyarakat, terlebih di masa pandemi, tentu tidak mudah. Rena mengingatkan pentingnya melakukan perbaikan di area pendidikan agar generasi selanjutnya lebih memiliki kemampuan untuk tahan terhadap gangguan kesehatan mental. Selain itu, juga perlu perbaikan pada area lain, terutama membangun sistem sosial, yakni bagaimana orang punya sikap saling menghargai, dan siap menerima perbedaan pendapat.
Dalam hal psikologi, lanjut Rena, masyarakat belum teredukasi dengan baik, terutama mengenai apa dampaknya. “Kita itu sering melihat sesuatu hanya pada aspek materil, sedangkan aspek psikologi dianggap abstrak, padahal aspek abstrak ini ada pada diri kita. Hanya karena tidak tahu ilmunya, kita jadi sering mengabaikan,” tegasnya.
Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rena Latifa meminta agar masalah gangguan kesehatan mental ini tidak dianggap remeh. Terutama jika jumlah orang yang menderita semakin meningkat seiring pandemi yang tak juga berkesudahan. Dampak buruk dari gangguan kesehatan mental diakuinya tidak hanya secara mikro, yakni penderita dan keluarga mengalami tekanan, melainkan juga secara makro, yakni berakibat pada menurunnya produktivitas.
“Kadang kita berpikir psikologis itu urusan personal. Tapi hati-hati, ini bisa berpengaruh secara makro, kalau tidak diurus dengan baik. Orang bisa tidak produktif bekerja, akhirnya bisa berdampak ke ekonomi juga,” ujar Rena yang terlibat sebagai peneliti dalam riset ini.
Dijelaskan, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa menimbulkan dua sikap, yakni menarik diri atau melawan. Kalau menarik diri, orang tersebut bisa bersikap “bodoh amat” terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, kalau sikapnya melawan, efeknya bisa lain, misalnya orang tersebut cenderung ingin melawan aturan, mejelekkan instansi tempat bekerja, termasuk bisa melawan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. “Ini sangat mungkin terjadi. Jadi ketidakstabilan individu itu bisa berefek makro, efek domino. Makanya ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Penyebab Gangguan Mental
Stres di masa pandemi bisa dipicu banyak hal. Yang paling umum adalah orang merasa ketakutan tertular virus. Penyebab lain adalah faktor ekonomi karena banyak orang yang harus kehilangan sumber pendapatan akibat di-PHK atau bisnis berhenti. Selain itu, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga berkontribusi karena banyak orang yang kehilangan interaksi dengan orang-orang dekatnya.
Bagi seorang pekerja kantoran, kata Rena, stres bisa terjadi karena rasa tidak percaya diri, merasa tidak punya kemampuan manajemen, misalnya tidak bisa mengatur waktunya antara work from home (WFH) dan work from office (WFO). Sedangkan bagi ibu rumah tangga, stres dipicu antara lain karena keharusan mendampingi anak belajar daring. Stres yang berlangsung lama bisa meningkat menjadi kecemasan. Gangguan kecemasan ditandai ketika seseorang mulai sering merasa takut, panik, tegang, gelisah, bahkan bermimpi buruk.
“Kenyataannya di penelitian kami ada 21,5% orang di level cemas ini. Mungkin kita mengatakan, wajar orang stres karena saat itu dalam masa penyesuain diri di awal-awal pandemi. Tapi, ketika pandemi lanjut dan berlama-lama, stres ini bisa naik ke cemas, bahkan jadi depresi. Harus diwaspadai,” paparnya.
Mengatasi persoalan gangguan mental masyarakat, terlebih di masa pandemi, tentu tidak mudah. Rena mengingatkan pentingnya melakukan perbaikan di area pendidikan agar generasi selanjutnya lebih memiliki kemampuan untuk tahan terhadap gangguan kesehatan mental. Selain itu, juga perlu perbaikan pada area lain, terutama membangun sistem sosial, yakni bagaimana orang punya sikap saling menghargai, dan siap menerima perbedaan pendapat.
Dalam hal psikologi, lanjut Rena, masyarakat belum teredukasi dengan baik, terutama mengenai apa dampaknya. “Kita itu sering melihat sesuatu hanya pada aspek materil, sedangkan aspek psikologi dianggap abstrak, padahal aspek abstrak ini ada pada diri kita. Hanya karena tidak tahu ilmunya, kita jadi sering mengabaikan,” tegasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda