Stres Kian Mengancam

Senin, 22 Februari 2021 - 13:31 WIB
loading...
Stres Kian Mengancam
Pandemi membuat banyak orang mengalami stres. Jika tidak ditangani, stres ini bisa menjadi cemas bahkan depresi. (Grafis: SINDOnews/Win Cahyono)
A A A
Ade Binarko Dwimartono seolah belum percaya kehidupannya berubah drastis hanya dalam waktu sekejap gara-gara pandemi. Kurang lebih setahun lalu, pria asal Jakarta ini masih menikmati penghasilan yang cukup baik dari pekerjaannya sebagai brand consultant. Namun, semua berubah seketika seiring datangnya pandemi Covid-19.

Ade tadinya cukup sibuk sebagai seorang pekerja seni kreatif. Dalam sehari, dia bisa mengerjakan tiga pekerjaan di waktu yang berbeda. Selain sebagai konsultan, dia menjadi moderator acara seminar, dan host pada acara-acara offline. Namun, pandemi membalikkan semuanya. Tawaran job mendadak sepi. Seketika itu pula penghasilannya menurun drastis.

Berkurangnya aktivitas disertai penghasilan yang anjlok tiba-tiba membuat Ade stres. Kesehatannya pun ikut terdampak. Apalagi, sejak beberapa tahun lalu dia memang menderita gangguan kecemasan. Penyakit yang membuatnya selalu merasa ketakutan dan panik saat berada di keramaian. Gangguan mental tersebut membuatnya setiap bulan harus berkonsultasi ke psikiater. Ditambah kondisi sulit akibat pandemi, tekanan yang dirasakannya kini menjadi berlipat.

“Tiga bulan pertama pandemi saya masih merasa aman karena saat itu tabungan masih ada. Namun, masalah muncul karena pandemi berlangsung lama. Saya mulai stres karena uang kan makin menipis. Selain itu tertekan karena harus terus-terusan tinggal di rumah,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (20/2).

Tekanan mental makin bertambah karena pada Januari lalu dia dinyatakan positif Covid-19. Kondisi yang memaksanya harus melakukan isolasi mandiri. Namun, Ade berkeyakinan semua situasi sulit akibat pandemi ini akan berlalu. Prinsipnya, setiap rasa sakit tidak akan selamanya, pasti ada akhirnya. Dalam mengisi waktu dia aktif berbagi informasi kepada mereka yang membutuhkan pengetahuan tentang masalah kesehatan mental maupun tentang Covid-19.

"Saya kini jadi penyintas kesehatan mental sekaligus juga penyintas Covid-19,” ujar founder Sehatmental.id, sebuah laman yang khusus menyediakan informasi seputar kesehatan mental.

Masalah kesehatan mental yang dipicu pandemi seperti yang dialami Ade juga dirasakan banyak orang lain. Tingkatannya pun berbeda-beda, mulai gangguan ringan berupa stres, gangguan sedang berupa cemas, hingga gangguan berat atau depresi.

Meningkatnya angka penderita gangguan mental di masa pandemi antara lain terkonfirmasi melalui hasil penelitian Centre of Applied Psychometrics Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian tersebut melibatkan 994 responden di seluruh Indonesia. Penelitian bertujuan untuk melihat perilaku masyarakat menghadapi pandemi ditinjau dari sikap keberagamaan, aktivitas sosial keagamaan, dan sikap terhadap Covid-19.

Salah satu yang diukur adalah dampak psikologis masyarakat akibat pandemi. Hasilnya, 74,9% responden mengalami stres, 21,5% gangguan kecemasan, dan 3,5% depresi. Penelitian ini dilakukan pada Juli 2020 atau lima bulan sejak pandemi melanda Indonesia. Dengan masa pandemi yang menginjak setahun, masalah kesehatan mental bukan tidak mungkin menjadi lebih buruk. Misalnya, orang yang tadinya hanya stres, kini berubah cemas, dan yang awalnya cemas meningkat menjadi depresi.

Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun mengonformasi hasil penelitian yang menunjukkan kenaikan kasus orang yang butuh penanganan akibat gangguan mental sejak pandemi. Kasus seperti gangguan tidur menempati posisi paling tinggi yakni 24%, gangguan kecemasan 5%, dan depresi 8%.

Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rena Latifa meminta agar masalah gangguan kesehatan mental ini tidak dianggap remeh. Terutama jika jumlah orang yang menderita semakin meningkat seiring pandemi yang tak juga berkesudahan. Dampak buruk dari gangguan kesehatan mental diakuinya tidak hanya secara mikro, yakni penderita dan keluarga mengalami tekanan, melainkan juga secara makro, yakni berakibat pada menurunnya produktivitas.

“Kadang kita berpikir psikologis itu urusan personal. Tapi hati-hati, ini bisa berpengaruh secara makro, kalau tidak diurus dengan baik. Orang bisa tidak produktif bekerja, akhirnya bisa berdampak ke ekonomi juga,” ujar Rena yang terlibat sebagai peneliti dalam riset ini.

Dijelaskan, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa menimbulkan dua sikap, yakni menarik diri atau melawan. Kalau menarik diri, orang tersebut bisa bersikap “bodoh amat” terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, kalau sikapnya melawan, efeknya bisa lain, misalnya orang tersebut cenderung ingin melawan aturan, mejelekkan instansi tempat bekerja, termasuk bisa melawan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. “Ini sangat mungkin terjadi. Jadi ketidakstabilan individu itu bisa berefek makro, efek domino. Makanya ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Penyebab Gangguan Mental
Stres di masa pandemi bisa dipicu banyak hal. Yang paling umum adalah orang merasa ketakutan tertular virus. Penyebab lain adalah faktor ekonomi karena banyak orang yang harus kehilangan sumber pendapatan akibat di-PHK atau bisnis berhenti. Selain itu, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga berkontribusi karena banyak orang yang kehilangan interaksi dengan orang-orang dekatnya.

Bagi seorang pekerja kantoran, kata Rena, stres bisa terjadi karena rasa tidak percaya diri, merasa tidak punya kemampuan manajemen, misalnya tidak bisa mengatur waktunya antara work from home (WFH) dan work from office (WFO). Sedangkan bagi ibu rumah tangga, stres dipicu antara lain karena keharusan mendampingi anak belajar daring. Stres yang berlangsung lama bisa meningkat menjadi kecemasan. Gangguan kecemasan ditandai ketika seseorang mulai sering merasa takut, panik, tegang, gelisah, bahkan bermimpi buruk.

“Kenyataannya di penelitian kami ada 21,5% orang di level cemas ini. Mungkin kita mengatakan, wajar orang stres karena saat itu dalam masa penyesuain diri di awal-awal pandemi. Tapi, ketika pandemi lanjut dan berlama-lama, stres ini bisa naik ke cemas, bahkan jadi depresi. Harus diwaspadai,” paparnya.

Mengatasi persoalan gangguan mental masyarakat, terlebih di masa pandemi, tentu tidak mudah. Rena mengingatkan pentingnya melakukan perbaikan di area pendidikan agar generasi selanjutnya lebih memiliki kemampuan untuk tahan terhadap gangguan kesehatan mental. Selain itu, juga perlu perbaikan pada area lain, terutama membangun sistem sosial, yakni bagaimana orang punya sikap saling menghargai, dan siap menerima perbedaan pendapat.

Dalam hal psikologi, lanjut Rena, masyarakat belum teredukasi dengan baik, terutama mengenai apa dampaknya. “Kita itu sering melihat sesuatu hanya pada aspek materil, sedangkan aspek psikologi dianggap abstrak, padahal aspek abstrak ini ada pada diri kita. Hanya karena tidak tahu ilmunya, kita jadi sering mengabaikan,” tegasnya.

Di level individu, gangguan kesehatan mental bisa diatasi dengan mencari bantuan. Caranya, mulai berkomunikasi dengan lini terdekat, yakni pasangan. Kalau belum menemukan solusi, beranjak ke orang lain, misalnya lingkaran terdekat, yaitu tim kerja, atau atasan di kantor. Minta solusi atas apa yang dialami. Di sisi lain orang sekitar juga diharapkan mampu mengembangkan budaya care dan helpfull terhadap penderita. Bahkan, instansi tempat bekerja diminta perlu membangun kedasaran akan pentingnya kesehatan mental bagi setiap karyawannya karena itu untuk kepentingan bersama.

“Intinya budaya caring, peduli, ada rasa memiliki dan saling membantu. Lingkungan kerja atau keluarga harus punya prinsip bahwa ‘saya adalah kamu’, bahwa ini soal ‘kita’. Value seperti ini yang harus sering digaungkan,” jelasnya.

Jika keluarga dan lingkungan tempat kerja dirasa juga belum bisa membantu, maka saatnya berkonsultasi ke ahli. “Penderita sudah perlu mencari bantuan ke profesional,” katanya menambahkan.

Resiliensi Tinggi
Penelitian yang dilakukan Rena dkk juga mengamati tingkat resiliensi masyarakaIndonesia dalam menghadapi pandemi. Secara teori, gangguan kesehatan mental, baik stres, cemas maupun depresi rawan terjadi pada seseorang jika dia tidak punya kemampuan resiliensi. Resiliensi adalah daya lenting yang dimiliki seseorang yang membuatnya mampu keluar dari tekanan dan kembali melakukan interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari.

“Stres bisa terjadi pada semua orang di masa pandemi ini, tapi yang membedakan, apakah dia mengalami gangguan psikologi berat, atau bisa kembali ke semula, sehat secara mental, itu tergantung dari kemampuan resiliensinya,” lanjut Rena.

Kabar baiknya, masyarakat Indonesia menurut penelitian ini memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Dari seluruh responden 73,2% yang resiliensinya tinggi. Hanya 0,7% responden yang resiliensinya rendah. Orang dengan resiliensi tinggi mampu berinteraksi sosial, cepat mengatasi tekanan, dan tetap bisa beraktivitas sehari-hari meski di masa pandemi. Sebaliknya, orang dengan resilisensi rendah cenderung menghadapi pandemi dengan banyak tinggal di rumah dan bersikap pasrah mendekatkan diri ke Tuhan.

Rena menduga resiliensi tinggi tersebut disebabkan oleh karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki daya tahan terhadap berbagai jenis stressor atau penyebab stres. “Kita hidup di negara rawan bencana, ekonomi juga kadang tidak jelas, kita bukan negara maju dengan berbagai macam fasilitas. Jadinya terbiasa, terlatih, dan akhirnya resiliens. Tapi dugaan ini tentu perlu penelitian lebih lanjut," jelasnya.

Dari sisi gender, hasil penelitian ini menunjukkan laki-laki lebih resiliens dibanding perempuan. “Mungkin karena laki-laki punya tanggung jawab terhadap ekonomi keluarga, jadi mau tak mau harus bangkit untuk bekerja di masa pandemi ini,” ujarnya.

Saat ini Rena juga terlibat dalam riset internasional tentang Covid-19 dan kesehatan mental yang dilakukan di beberapa negara. Ketua tim peneliti berasal dari Universitas Macau. Rena menjadi Ketua Peneliti tim Indonesia. "Riset ini masih berlangsung dan akan kami sampaikan nanti hasilnya," tandasnya. ananda nararya/bakti munir
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0923 seconds (0.1#10.140)