Gaok Mencari Pewaris

Kamis, 18 Februari 2021 - 15:21 WIB
Pelaku seni Gaok di Desa Kulur, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Rukmin (kiri) dan Syamsuddin saat ditemui di Balai Desa Kulur, beberapa waktu lalu. FOTO/iNewsTv/AGUNG LEGIARTA
Malik deui, Geulis malik deui

Ngareureuyeuh deui, ngareureuyeuh

Mawa ngidul kapopojok, mawa ngidul kapopojok

Ari gaok Desa Kulur

Ngahaja rek ngahibur



Lumayan ti batan nganggur

Ngalamunkeun lembur

Gaok nu kapungkur

Kacatur nu kamasyhur

Aya na di Desa Kulur

SEPENGGALbait disenandungkan. Suaranya khas, kadang rendah sesekali tinggi, mendayu dangding layaknya kawih atau tembang Sunda asli. Ia mengenakan baju kebesarannya tiap kali pentas, baju toro atau baju kampret berwarna hitam-hitam, lengkap dengan ikat kepala bermotif batik. Di dada sebelah kiri dan kanannya, tersemat 2 pin medali.

"Ini medali apresiasi karena aktif menjadi pegiat seni Sunda karuhun. Kalau satunya, bentuk edelweiss (Anaphalis javanica, bunga abadi favorit pendaki, lazim ditemukan di pegunungan), saya dapatkan ketika tampil malam-malam di Gunung Ciremai," kata Rukmin (79), pelaku seni Gaok di Desa Kulur, Kabupaten Majalengka , Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Wawancara dengan Rukmin adalan bagian dari liputan tentang Gaok yang didukung penuh oleh PANDI yang giat mempromosikan kesenian daerah, dalam program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara.

Baca juga: Tonjolkan Seni Tradisional Autentik, Gerabah Pejaten Banyak Diminati

Sebuah minishow dari kesenian Gaok pimpinan Aki Rukmin, panggilan akrabnya, ditampilkan saat perjumpaan kami pertama di Balai Desa Kulur, Kabupaten Majalengka. Aki Rukmin dan dua personel pemain Gaok lainnya, yakni Andi dan Syamsudin, adalah sebagian pelaku tersisa yang hingga kini masih mempertahankan seni Gaok di Kabupaten Majalengka. Lainnya nyaris tidak ada. Tak heran, generasi milenial atau kelahiran 90-an, mengangkat bahu alias tidak tahu apa itu Gaok.

Kondisi ini kontras dengan saat masa keemasannya. Gaok begitu kondang untuk hilir-mudik kampung melayani undangan hajat dari masyarakat dalam dan luar Majalengka. Gaok juga tampil dalam pagelaran-pagelaran seni Sunda. Kekhasan dan orisinalitas Gaok, termasuk suara dalang Aki Rukmin membuat para juri pagelaran kala itu, menahbiskannya menjadi yang terbaik.

Sejarah panjang Gaok Desa Kulur saat ini ada di titik terendah. Show Gaok sudah jarang dipentaskan, terkecuali sesekali bagi mahasiswa. Itu pun karena keperluan penelitian jurusan seni dan sastra. Minimnya order hajatan, membuat seni khas kota angin Majalengka ini, terancam punah. Sementara di lain sisi, Gaok kesulitan mencari penerus. Bahkan, tanpa preservasi yang layak, Gaok tidak mungkin bertahan untuk 1-2 tahun ke depan. Hasil perjuangan Gaok masuk menjadi daftar Warisan Budaya Tidak Benda atau WBTB Provinsi Jawa Barat bisa-bisa menjadi sia-sia.

Baca juga: Sri Mulyani Keliling Dunia Berkat Kemampuan Tari Tradisional

Representasi Karuhun Majalengka

Posisi geografis yang berada di antara wilayah pesisir dan pegunungan, serta unsur budaya Cirebon (Jawa) dan Priangan (Sunda) memberi Majalengka kekuatan ragam seni budaya. Cerminan ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah kesenian daerah, salah satunya Gaok dari Desa Kulur.

Desa Kulur berada di wilayah Majalengka Timur. Tidak begitu jauh dari pusat perkotaan Majalengka. Suasana perumahan di perbukitan, hamparan tanaman padi hijau di kanan kiri, menjadi pemandangan segar saat berkendara menuju desa Kulur. Akses jalan tidak begitu sulit. 20 menit perjalanan dari kampung saya, Desa Jatiwangi, Majalengka, yang terletak di dataran lebih rendah, dan bersinggungan langsung dengan jalur utama Cirebon-Bandung. Terlebih hawa dingin pagi hari kala itu yang memang tengah gerimis.

Sebagai seni pertunjukan karuhun atau leluhur, Gaok dari Desa Kulur, tidak diketahui persis kapan mulai ada. Tidak ada peninggalan (prasasti atau naskah) yang menunjukkan keterangan waktu. Dalam penelusuran literatur yang ada, saya mencatat kesamaan yang bisa dijadikan pegangan. Penamaan Gaok berasal dari kata "gorowok" artinya berteriak, karena cara membawakannya dengan dinyanyikan suara keras atau nada tinggi.

Gaok adalah jenis kesenian pertunjukan mamaos (membaca teks) berupa wawacan, dari kata wawar ka nu acan atau berarti memberi tahu kepada yang belum mengetahui (Profil Kesenian Daerah Kabupaten Majalengka, Asikin Hidayat, 2017). Pada awalnya, Gaok disuguhkan untuk keperluan ritual dan adat upacara kelahiran bayi.

Gaok sebagai kesenian, dianggap sebagai hasil pencampuran nilai budaya atau sinkretisme etnis Sunda dengan budaya Islam yang datang dari Cirebon. Hal ini didasari Gaok sebagai medium dakwah di Majalengka, saat penyebaran ajaran Islam masa pemerintahan Pangeran Muhammad pada Abad ke-15. Sejumlah fakta menguatkan pendapat ini, keberadaan Aksara Arab (Pegon) pada naskah asli wawacan, dan jalan ceritanya berupa kisah-kisah Nabi (Anbiya) dikidungkan seniman Gaok. Selain itu, pada praktiknya, dalam pertunjukan yang menggunakan bahasa Sunda, pengucapan lafal Basmallah di awal Wawacan, menjadi keharusan.

Sejarah Gaok di Majalengka juga erat dikaitkan dengan 2 tokoh seniman yakni Sabda Wangsadihardja (Abad ke-20), serta anaknya yakni Engkos Wangsadihardja (era kejayaan pada 1960-an). Kini sepeninggal tokoh tersebut, sebagai penerus adalah Aki Rukmin. "Saya keponakan Wangsadihardja, saya manggilnya Uwak," kata Aki Rukmin.

Ia mengiyakan jika Gaok menjadi hiburan favorit masyarakat. Aki Rukmin yang bergabung grup Gaok sejak 1963, sering tampil di kampung-kampung. "Nu ngagaduhan bayi, ngarupus, ngayun sampe babarit sawah (yang punya bayi, melahirkan, sampai panen sawah)," kenang Aki Rukmin.

Gaok kini dan dulu memiliki perbedaan. Di awal, Gaok dibawakan sebatas memaparkan cerita babad tanpa iringan musik alias asli mengandalkan kemampuan dalang mengolah cerita lalakon dengan ragam jenis lagu pupuh. Karena sifatnya sebagai seni pertunjukan, Gaok berkembang. Gaok mulai ditambahkan dengan alat musik. Itu pun, menurut Fahrurozi dalam penelitiannya Strategi Dalang Gaok, 2014, hanya digunakan untuk mengiringi mamaos/Gaok secara keseluruhan atau hanya jeda misal pada saat mengakhiri kalimat lagu atau ngagoongkeun pupuh.

Pada saat itu, menurut Aki Rukmin, Gaok dilengkapi naskah, sesaji (ritual), dan waditra (alat musik) pengiring. "Apapun yang ada di dapur, kecreknya sendok, kadang piring, tapi ke sininya ada tukang Kendang, Gong, Terompet, tapi yang aslinya tetap ada, Buyung," kata Udin, peniup Buyung. Gaok mengalami transformasi.

Naskah Gaok, masih berdasarkan penuturan Aki Rukmin, berupa wawacan atau lalakon yang berjumlah 17. Beberapa yang favorit ia sering bawakan yakni cerita Sulanjana, Barjah, Samun, Nyi Rambut Kasih dan Talagamanggung. "Itu cerita padi dan Dewi Sri (Sulanjana)," ujar Aki Rukmin.

Selain pelaku seni seperti Aki Rukmin, keberadaan naskah menjadi bukti peninggalan seni sunda karuhun (lama) yang hingga saat ini masih bertahan. Aki Rukmin yang berperan sebagai dalang Gaok, menguasai berbagai jenis pupuhnya, di mana yang sering dia bawakan antara lain Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.

"Lagu-lagu itu harus purwakanti (repetisi yang sama), kalau ga gitu, ga enak didengar, kapan suara sedang, besar kecil, susah," kata Aki Rukmin menegaskan.

Jika diibaratkan, Gaok sebagai pekerjaan menyanyi yang dimainkan empat sampai enam orang yang dipimpin dalang. Gaok merupakan seni dengan model partisipatif dan saling berbalas. "Yang baca cerita itu dalang, kemudian dilanjut sampe habis pupuh itu ya ketujuh personel itu. Dangding pupuhnya harus hapal semua. Nah sekarang mencari personel yang bisa pupuh itu yang susah, kebetulan di sini tinggal ini doang yang masih eksis," kata Andi, personel Gaok lainnya, ikut menimpali.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More