YLBHI Dukung Revisi UU ITE karena Menghambat Kebebasan Berpendapat
Kamis, 18 Februari 2021 - 06:01 WIB
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyambut baik rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). YLBHI menilai, sudah seharusnya revisi UU ITE diprioritaskan karena salah satu ancaman kebebasan berpendapat ada pada undang-undang tersebut.
"Memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi antara lain UU ITE," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).
YLBHI mencatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.
Secara rinci terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan sebesasr 26%, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa sebesar 25%, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital sebesar 17%, kemudian pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebesar 16%, serta pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16%.
Data LBH-YLBHI juga menunjukkan tingginya penangkapan secara sewenang-wenang yang jumlahnya mencapai 3.539 orang dan sebagian besar terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum khususnya aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Angka ini hanya terdata dari daerah-daerah yang didampingi dan tersebar di 17 provinsi.
Selain itu, terdapat kasus pembubaran dan pelarangan aksi damai. Data YLBHI menunjukkan terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi damai khususnya pada aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja sebanyak 3.376 orang, bahkan Kepolisian mengaku telah menangkap 5.918 orang terkait aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. "Penangkapan besar-besaran ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi adalah kegiatan terlarang seperti di zaman Orde Baru," katanya.
Maka dari itu, YLBHI meminta pemerintah untuk memastikan tidak ada lagi pembubaran sewenang-wenang, penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang/kelompok yang menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara damai. "Tidak meneruskan RUU atau pasal-pasal dalam RUU termasuk RKUHP yang berpotensi menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi," tambahnya.
Menurut YLBHI, berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Konstitusi dan UU. Di antaranya surat telegram Kapolri Surat Telegram nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menghadapi aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja serta SKB 11 kementerian dan lembaga terkait penanganan radikalisme dan penguatan wawasan kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara ASN.
Hal-hal di atas ditambah diskriminasi penegakan hukum dan jeleknya hukum acara pidana Indonesia telah menyebabkan kemunduran demokrasi yang juga dipotret berbagai lembaga dengan turunnya indeks demokrasi Indonesia. "YLBHI menyatakan Presiden perlu melakukan evaluasi terhadap penegakan hukum oleh Kepolisian khususnya pelanggaran terhadap pelaksanaan hak kebebasan berpendapat serta memerintahkan kebijakan yang melanggar kebebasan berpendapat dicabut," pungkasnya. Raka Dwi Novianto
"Memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi antara lain UU ITE," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).
YLBHI mencatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.
Secara rinci terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan sebesasr 26%, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa sebesar 25%, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital sebesar 17%, kemudian pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebesar 16%, serta pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16%.
Data LBH-YLBHI juga menunjukkan tingginya penangkapan secara sewenang-wenang yang jumlahnya mencapai 3.539 orang dan sebagian besar terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum khususnya aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Angka ini hanya terdata dari daerah-daerah yang didampingi dan tersebar di 17 provinsi.
Selain itu, terdapat kasus pembubaran dan pelarangan aksi damai. Data YLBHI menunjukkan terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi damai khususnya pada aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja sebanyak 3.376 orang, bahkan Kepolisian mengaku telah menangkap 5.918 orang terkait aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. "Penangkapan besar-besaran ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi adalah kegiatan terlarang seperti di zaman Orde Baru," katanya.
Maka dari itu, YLBHI meminta pemerintah untuk memastikan tidak ada lagi pembubaran sewenang-wenang, penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang/kelompok yang menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara damai. "Tidak meneruskan RUU atau pasal-pasal dalam RUU termasuk RKUHP yang berpotensi menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi," tambahnya.
Menurut YLBHI, berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Konstitusi dan UU. Di antaranya surat telegram Kapolri Surat Telegram nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menghadapi aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja serta SKB 11 kementerian dan lembaga terkait penanganan radikalisme dan penguatan wawasan kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara ASN.
Hal-hal di atas ditambah diskriminasi penegakan hukum dan jeleknya hukum acara pidana Indonesia telah menyebabkan kemunduran demokrasi yang juga dipotret berbagai lembaga dengan turunnya indeks demokrasi Indonesia. "YLBHI menyatakan Presiden perlu melakukan evaluasi terhadap penegakan hukum oleh Kepolisian khususnya pelanggaran terhadap pelaksanaan hak kebebasan berpendapat serta memerintahkan kebijakan yang melanggar kebebasan berpendapat dicabut," pungkasnya. Raka Dwi Novianto
(cip)
tulis komentar anda