Jokowi Didesak Konkretkan Pernyataan soal Revisi UU ITE
Selasa, 16 Februari 2021 - 21:02 WIB
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi, mendesak agar Presiden Jokowi segera merealisasikan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga meminta agar Presiden mencabut semua pasal karet.
"Koalisi menyatakan, desakan kepada Presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga melalui keterangan resminya, Selasa (16/2/2021).
Senin (15/2/2021) Presiden Jokowi dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara menyatakan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR untuk merevisi UU ITE.
"Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret," ucap Dirga.
(Baca: SAFEnet Jabarkan 9 Pasal Bermasalah di UU ITE)
Atas dasar itu, sambung Dirga, loalisi menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan jika Pemerintah ingin serius mengubah UU ITE. Diantaranya, seluruh pasal - pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus.
Menurutnya, pasal-pasal dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE.
"Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas," bebernya
Selama ini, kata Dirga, Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.
"Koalisi menyatakan, desakan kepada Presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga melalui keterangan resminya, Selasa (16/2/2021).
Senin (15/2/2021) Presiden Jokowi dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara menyatakan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR untuk merevisi UU ITE.
"Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret," ucap Dirga.
(Baca: SAFEnet Jabarkan 9 Pasal Bermasalah di UU ITE)
Atas dasar itu, sambung Dirga, loalisi menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan jika Pemerintah ingin serius mengubah UU ITE. Diantaranya, seluruh pasal - pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus.
Menurutnya, pasal-pasal dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE.
"Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas," bebernya
Selama ini, kata Dirga, Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.
tulis komentar anda