Hari Buku Nasional, Pengamat: Nasib Buku dari Dulu Sampai Sekarang Apes
Minggu, 17 Mei 2020 - 16:38 WIB
JAKARTA - Hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Buku Nasional. Banyak yang prihatin atas nasib dari masa depan buku di Indonesia mengingat, semakin menurunnya minat membaca buku masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Bahkan, pengamat pendidikan Doni Koesuma menyebut nasib buku dari dulu sampai sekarang ‘apes’ atau tidak beruntung, baik buku digital sekalipun sepi pembacanya. (Baca juga: Jokowi: Buku Apa Saja yang Anda Baca Selama Pandemi?)
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Doni pun mencontohkan seperti di grup sosial media (sosmed)-nya, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Bahkan, banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya. “Kalau ada buku mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, nggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Berdasarkan Indeks Literasi Baca Masyarakat dari Kemendikbud, Doni melanjutkan, pada 2019, 80%-90% provinsi skornya merah. Jadi, Kemendikbud memberikan nilai merah, kuning dan hijau, hijau itu bagus. Jadi yang merah itu antara 80-90% provinsi. Artinya, masyarakat Indonesia tidak mengakses perpustakaan, tidak baca buku, rumah tangga juga tidak tersedia koran dan majalah. Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta, tidak tersedianya perpustakaan. Riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat.
“Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja nggak ada bagaimana mau literate. Nah, itu belum berbicara kualitas loh ya. Apakah kalau akses sudah tersedia mau dimanfaatkan sungguh-sungguh. Misalnya provinsi DKI yang sudah tersedia perpustakaannya, apakah sungguh-sungguh ke sana? Nah riset itu tidak membahas itu. Tapi beradasarkan kriteria lama sekolah, buku, ketersediaan perpustakaan, bagaimana rumah tangga menginvestasikan membeli buku-buku sangat rendah. Itu yang di masyarakat,” tambahnya.
Sementara, sambung dia, tes paling valid untuk Pendidikan itu PISA. Pada PISA 2018, kemampuan reading literasi anak Indonesia skornya 371. Skor ini sama dengan skor Indonesia 20 tahun lalu atau 2003 saat Indonesia pertama kali ikut tes PISA. Jadi, Indonesia pernah mencapai skor 395 sekitar 2006-2007. Namun, 10 tahun terakhir berkurang skor literasinya.
“Berarti ada masalah pada pelajaran Bahasa Indonesia terutama masalah juga pengajaran guru-guru kita selama 10 tahun terakhir, kenapa tidak bisa menghasilkan anak-anak yang bisa membaca secara graded. Jadi skor kita untuk literasi kita masih rendah, sementara negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) itu nilai rata-rata sekitar 500-an. Kita masih sangat jauh, 371,” tandasnya. kiswondari
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Doni pun mencontohkan seperti di grup sosial media (sosmed)-nya, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Bahkan, banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya. “Kalau ada buku mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, nggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Berdasarkan Indeks Literasi Baca Masyarakat dari Kemendikbud, Doni melanjutkan, pada 2019, 80%-90% provinsi skornya merah. Jadi, Kemendikbud memberikan nilai merah, kuning dan hijau, hijau itu bagus. Jadi yang merah itu antara 80-90% provinsi. Artinya, masyarakat Indonesia tidak mengakses perpustakaan, tidak baca buku, rumah tangga juga tidak tersedia koran dan majalah. Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta, tidak tersedianya perpustakaan. Riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat.
“Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja nggak ada bagaimana mau literate. Nah, itu belum berbicara kualitas loh ya. Apakah kalau akses sudah tersedia mau dimanfaatkan sungguh-sungguh. Misalnya provinsi DKI yang sudah tersedia perpustakaannya, apakah sungguh-sungguh ke sana? Nah riset itu tidak membahas itu. Tapi beradasarkan kriteria lama sekolah, buku, ketersediaan perpustakaan, bagaimana rumah tangga menginvestasikan membeli buku-buku sangat rendah. Itu yang di masyarakat,” tambahnya.
Sementara, sambung dia, tes paling valid untuk Pendidikan itu PISA. Pada PISA 2018, kemampuan reading literasi anak Indonesia skornya 371. Skor ini sama dengan skor Indonesia 20 tahun lalu atau 2003 saat Indonesia pertama kali ikut tes PISA. Jadi, Indonesia pernah mencapai skor 395 sekitar 2006-2007. Namun, 10 tahun terakhir berkurang skor literasinya.
“Berarti ada masalah pada pelajaran Bahasa Indonesia terutama masalah juga pengajaran guru-guru kita selama 10 tahun terakhir, kenapa tidak bisa menghasilkan anak-anak yang bisa membaca secara graded. Jadi skor kita untuk literasi kita masih rendah, sementara negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) itu nilai rata-rata sekitar 500-an. Kita masih sangat jauh, 371,” tandasnya. kiswondari
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda