MENAKAR MEMBACA SETELAH MERDEKA
Senin, 08 Februari 2021 - 06:16 WIB
Joko Santoso
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Perpustakaan Nasional RI.
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak tananan kehidupan bermasyarakat. Hampir semua aktivitas kini serba terbatas. Mulai dari sekolah, bekerja hingga belanja kebutuhan sehari hari. Dalam hal lainnya, pandemi yang ‘mengharuskan’ masyarakat berdiam diri di rumah juga mendorong sejumlah sektor tumbuh signifikan. Sebut saja sektor telekomunikasi atau jasa penyediaan layanan rapat virtual.
Selain itu, ternyata kebiasaan beraktivitas di rumah juga turut mendorong meningkatnya tingkat membaca masyarakat dunia. Berdasarkan data The Digital Reader yang dirilis November lalu, selama pandemi minat baca secara keseluruhan di dunia naik 35%. Kenaikan minat baca ini, tentu saja menjadi harapan baru di tengah membanjirnya informasi yang bertebaran di media sosial. Meningkatnya kebiasaan membaca juga seyogianya selaras dengan semakin membaiknya literasi di masyarakat agar tidak termakan berita-berita palsu yang menyesatkan di masa pandemi.
Membaca di Masa Revolusi
Menilik jauh ke belakang, sesungguhnya di zaman awal masa-masa kemerdekaan, pentingnya membaca ini sudah diingatkan oleh presiden pertama RI Ir Soekarno sebagai syarat mutlak literasi. Tepanya pada 14 Maret 1948, di mana Bung Karno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH).
Kala itu, literasi dianggap sebagai gerakan sosial yang hingga kini terus berlanjut. Namun, kini aktivitas ini tidak lagi sekadar gerakan membaca, tetapi kemampuan memahami, mengeksplorasi pengetahuan dan merepresentasikannya dalam berbagai karya agar hidup lebih produktif dan sejahtera.
Ihkwal pentingnya literasi, Bung Karno dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan menegaskan: “Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita..!"
Dalam situasi agresi militer Belanda itu, pemerintahan Soekarno menyelenggarakan kursus PBH di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang siswa. Gerakan pemberantasan buta huruf terus berjalan. Pada 1960, Bung Karno mengeluarkan Komando “Indonesia terbebas buta-huruf 100%”. Empat tahun berikutnya, seluruh rakyat dimobilisasi untuk menyukseskan komando tersebut. Hasilnya luar biasa, pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Papua), dinyatakan bebas buta huruf oleh UNESCO.
Membaca di Masa Reformasi
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Perpustakaan Nasional RI.
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak tananan kehidupan bermasyarakat. Hampir semua aktivitas kini serba terbatas. Mulai dari sekolah, bekerja hingga belanja kebutuhan sehari hari. Dalam hal lainnya, pandemi yang ‘mengharuskan’ masyarakat berdiam diri di rumah juga mendorong sejumlah sektor tumbuh signifikan. Sebut saja sektor telekomunikasi atau jasa penyediaan layanan rapat virtual.
Selain itu, ternyata kebiasaan beraktivitas di rumah juga turut mendorong meningkatnya tingkat membaca masyarakat dunia. Berdasarkan data The Digital Reader yang dirilis November lalu, selama pandemi minat baca secara keseluruhan di dunia naik 35%. Kenaikan minat baca ini, tentu saja menjadi harapan baru di tengah membanjirnya informasi yang bertebaran di media sosial. Meningkatnya kebiasaan membaca juga seyogianya selaras dengan semakin membaiknya literasi di masyarakat agar tidak termakan berita-berita palsu yang menyesatkan di masa pandemi.
Membaca di Masa Revolusi
Menilik jauh ke belakang, sesungguhnya di zaman awal masa-masa kemerdekaan, pentingnya membaca ini sudah diingatkan oleh presiden pertama RI Ir Soekarno sebagai syarat mutlak literasi. Tepanya pada 14 Maret 1948, di mana Bung Karno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH).
Kala itu, literasi dianggap sebagai gerakan sosial yang hingga kini terus berlanjut. Namun, kini aktivitas ini tidak lagi sekadar gerakan membaca, tetapi kemampuan memahami, mengeksplorasi pengetahuan dan merepresentasikannya dalam berbagai karya agar hidup lebih produktif dan sejahtera.
Ihkwal pentingnya literasi, Bung Karno dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan menegaskan: “Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita..!"
Dalam situasi agresi militer Belanda itu, pemerintahan Soekarno menyelenggarakan kursus PBH di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang siswa. Gerakan pemberantasan buta huruf terus berjalan. Pada 1960, Bung Karno mengeluarkan Komando “Indonesia terbebas buta-huruf 100%”. Empat tahun berikutnya, seluruh rakyat dimobilisasi untuk menyukseskan komando tersebut. Hasilnya luar biasa, pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Papua), dinyatakan bebas buta huruf oleh UNESCO.
Membaca di Masa Reformasi
tulis komentar anda