Merespons Krisis Ulama
Minggu, 31 Januari 2021 - 12:07 WIB
2) dunia mengalami pengecilan. Semua manusia berada dalam satu rumah di bawah atap yang sama. Dan karenanya pilihan yang ada hanya damai dan kerjasama atau saling mengusur dari rumah yang menjadi milik bersama itu.
3) dunia global juga melahirkan kompetisi yang ekstra ketat. Di sinilah Pondok harus mempersiapkan SDM yang kompetitif (unggulan).
Dua, pondok pesantren tidak boleh kehilangan fondasi ruhiyahnya. Karena bagaimanapun juga pesantren adalah pusat pengokohan iman dan karakter.
Iman dalam Al-Qur'an itu digambarkan bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, rantingnya tinggi menjulang langit, dan memberikan buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya.
Sebuah penggambaran bahwa iman yang kokoh tidak mudah goyah, apalagi tercabut oleh keadaan apa pun. Ketinggiannya menggambarkan bahwa Iman itu harus “visible” (terlihat) dengan karya dan inovasi (amal saleh). Dan buah-buahnya memberi manfaat luas bagi manusia.
Intinya di pesantren itu harus terbentuk Iman yang kuat dan sehat, yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Bahkan Iman tersebut pada akhirnya menjadi fondasi terbentuknya peradaban manusia.
Tiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas.
Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas itu.
Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Dan itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi.
Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka apa pun bentuknya akan diapresiasi oleh Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di pondok pesantren.
3) dunia global juga melahirkan kompetisi yang ekstra ketat. Di sinilah Pondok harus mempersiapkan SDM yang kompetitif (unggulan).
Dua, pondok pesantren tidak boleh kehilangan fondasi ruhiyahnya. Karena bagaimanapun juga pesantren adalah pusat pengokohan iman dan karakter.
Iman dalam Al-Qur'an itu digambarkan bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, rantingnya tinggi menjulang langit, dan memberikan buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya.
Sebuah penggambaran bahwa iman yang kokoh tidak mudah goyah, apalagi tercabut oleh keadaan apa pun. Ketinggiannya menggambarkan bahwa Iman itu harus “visible” (terlihat) dengan karya dan inovasi (amal saleh). Dan buah-buahnya memberi manfaat luas bagi manusia.
Intinya di pesantren itu harus terbentuk Iman yang kuat dan sehat, yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Bahkan Iman tersebut pada akhirnya menjadi fondasi terbentuknya peradaban manusia.
Tiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas.
Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas itu.
Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Dan itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi.
Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka apa pun bentuknya akan diapresiasi oleh Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di pondok pesantren.
tulis komentar anda