Investasi dan Pertaruhan Sumber Daya Alam
Jum'at, 29 Januari 2021 - 06:00 WIB
Prima Gandhi
Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen, IPB University
HIDUP yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan. Apa yang dikatakan Sutan Syahrir, perdana menteri pertama Republik Indonesia dirasa cocok menggambarkan asa sebuah peristiwa bersejarah terkait investasi sektor sumber daya alam (SDA) Indonesia di Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu.
Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan LG Energy Solution, perusahaan baterai kendaraan listrik asal Negeri Ginseng pada 18 Desember 2020. MoU ini meliputi kerja sama proyek investasi di bidang industri sel baterai kendaraan listrik terintegrasi dengan pertambangan, peleburan (smelter), pemurnian (refining), industri prekursor dan katoda. Peristiwa ini ramai dibahas pada awal 2021 di berbagai media massa dan elektronik.
Betapa tidak, penandatanganan MoU senilai Rp143 triliun akan membuat Indonesia sebagai pusat industri sel baterai kendaraan listrik dunia. Nilai kerja sama industri ini konon menjadi yang terbesar sejak Orde Reformasi bergulir. Ini menjadi angin segar awal 2021 di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Penandatangan MoU ini menjadi lembaran baru bagi pengambil kebijakan terkait energi terbarukan di Indonesia sekaligus cambuk bagi DPR yang sedang merancang undang-undang energi baru terbarukan (EBT). RUU EBT menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI pada 2021.
Dampak Positif
Hemat penulis jika kerja sama industri baterai kendaraan listrik terealisasi maka selain dampak ekonomi, ada dampak budaya, dan lingkungan yang akan terjadi. Dampak ekonomi adalah kenaikan pertumbuhan ekonomi. Potensi pertumbuhan ekonomi didapat dari royalti pertambangan, pengenaan pajak dari proses hulu, hilirisasi produk serta belanja karyawan, smelter dan tambang. Potensi ini akan memperkuat kedaaan fiskal negara. Namun, potensi kenaikan pertumbuhan ekonomi akan terasa hambar apabila tidak diikuti oleh lahirnya pengusaha baru tingkat lokal.
Kita ketahui bersama bahwa jaringan pengusaha China mendominasi ekosistem bisnis tambang dan industri nikel di Indonesia. Bahan baku utama baterai kendaraan listrik adalah nikel. Pengusaha Negeri Tirai Bambu memiliki modal, bahan baku, peralatan, dan tenaga kerja dalam industri tambang nikel. Bahkan, mereka pun menjadi kontraktor pengerjaan smelter.
Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen, IPB University
HIDUP yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan. Apa yang dikatakan Sutan Syahrir, perdana menteri pertama Republik Indonesia dirasa cocok menggambarkan asa sebuah peristiwa bersejarah terkait investasi sektor sumber daya alam (SDA) Indonesia di Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu.
Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan LG Energy Solution, perusahaan baterai kendaraan listrik asal Negeri Ginseng pada 18 Desember 2020. MoU ini meliputi kerja sama proyek investasi di bidang industri sel baterai kendaraan listrik terintegrasi dengan pertambangan, peleburan (smelter), pemurnian (refining), industri prekursor dan katoda. Peristiwa ini ramai dibahas pada awal 2021 di berbagai media massa dan elektronik.
Betapa tidak, penandatanganan MoU senilai Rp143 triliun akan membuat Indonesia sebagai pusat industri sel baterai kendaraan listrik dunia. Nilai kerja sama industri ini konon menjadi yang terbesar sejak Orde Reformasi bergulir. Ini menjadi angin segar awal 2021 di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Penandatangan MoU ini menjadi lembaran baru bagi pengambil kebijakan terkait energi terbarukan di Indonesia sekaligus cambuk bagi DPR yang sedang merancang undang-undang energi baru terbarukan (EBT). RUU EBT menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI pada 2021.
Dampak Positif
Hemat penulis jika kerja sama industri baterai kendaraan listrik terealisasi maka selain dampak ekonomi, ada dampak budaya, dan lingkungan yang akan terjadi. Dampak ekonomi adalah kenaikan pertumbuhan ekonomi. Potensi pertumbuhan ekonomi didapat dari royalti pertambangan, pengenaan pajak dari proses hulu, hilirisasi produk serta belanja karyawan, smelter dan tambang. Potensi ini akan memperkuat kedaaan fiskal negara. Namun, potensi kenaikan pertumbuhan ekonomi akan terasa hambar apabila tidak diikuti oleh lahirnya pengusaha baru tingkat lokal.
Kita ketahui bersama bahwa jaringan pengusaha China mendominasi ekosistem bisnis tambang dan industri nikel di Indonesia. Bahan baku utama baterai kendaraan listrik adalah nikel. Pengusaha Negeri Tirai Bambu memiliki modal, bahan baku, peralatan, dan tenaga kerja dalam industri tambang nikel. Bahkan, mereka pun menjadi kontraktor pengerjaan smelter.
tulis komentar anda