American Muslim & a Lost Generation
Kamis, 28 Januari 2021 - 15:07 WIB
Kerapuhan mental (iman) sebagian warga Muslim, khususnya kaum pendatang (imigran) di Amerika melahirkan banyak masalah yang serius. Termasuk di dalamnya kerapuhan generasi Islam itu sendiri. Bahkan tidak berlebihan jika kerapuhan tersebut pada tingkatan tertentu telah menimbulkan lost generation (generasi hilang).
Terjadinya lost generation ini disebabkan oleh banyak faktor. Tapi beberapa faktor dominan dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut:
Pertama, visi hidup yang salah. Dalam bahasa sederhana, visi hidup itu artinya niat kita dalam menjalani kehidupan ini. Ini berarti bagi masyarakat Muslim yang bermigrasi ke Amerika, niat imigrasi akan banyak menentukan gaya hidupnya di negara ini.
Jika niatnya memang untuk dunia maka dunia itu akan didapat (walau tidak pasti). Tapi pada akhirnya orang dengan visi keduniaan semata akan mengalami kerugian yang besar (khasarah). Dan kerugian terbesar itu ketika Iman dan Islam menjadi tidak lagi sesuatu yang mendasar dalam hidup.
Kedua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai.
Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Dan salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup akan lambat laun tapi pasti semakin tidak peduli dengan agamanya.
Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal.
Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras, membanting tulang siang dan malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tapi anak (generasi) tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jati diri (identity) generasi itu.
Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan sesaat. Jika sedang sakit kepala minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan.
Di sinilah para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru ngaji yang bisa mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tapi juga ada cultural gap (wawasan budaya yang berbeda) dengan generais muda.
Terjadinya lost generation ini disebabkan oleh banyak faktor. Tapi beberapa faktor dominan dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut:
Pertama, visi hidup yang salah. Dalam bahasa sederhana, visi hidup itu artinya niat kita dalam menjalani kehidupan ini. Ini berarti bagi masyarakat Muslim yang bermigrasi ke Amerika, niat imigrasi akan banyak menentukan gaya hidupnya di negara ini.
Jika niatnya memang untuk dunia maka dunia itu akan didapat (walau tidak pasti). Tapi pada akhirnya orang dengan visi keduniaan semata akan mengalami kerugian yang besar (khasarah). Dan kerugian terbesar itu ketika Iman dan Islam menjadi tidak lagi sesuatu yang mendasar dalam hidup.
Kedua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai.
Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Dan salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup akan lambat laun tapi pasti semakin tidak peduli dengan agamanya.
Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal.
Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras, membanting tulang siang dan malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tapi anak (generasi) tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jati diri (identity) generasi itu.
Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan sesaat. Jika sedang sakit kepala minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan.
Di sinilah para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru ngaji yang bisa mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tapi juga ada cultural gap (wawasan budaya yang berbeda) dengan generais muda.
tulis komentar anda