Uji Kematangan UU Pemilu Butuh 15-20 Tahun, Perindo Usulkan Fraksi Threshold
Rabu, 27 Januari 2021 - 13:41 WIB
JAKARTA - Partai politik yang tergabung dalam partai non parlemen mulai bersuara terkait munculnya draf Rancangan Undang-Undang ( RUU) Pemilu di DPR. Salah satunya Partai Perindo .
"UU pemilu kenapa harus dibahas di setiap 5 tahun. Apakah ini bagian penghabisan anggaran DPR, atau ingin membangun sebuah kartel politik. Bukankah sudah terlalu parah hasil pemilu 2019?," kata Sekjen DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq saat dihubungi SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Rofiq menuturkan, hakikat pemilu itu menghargai suara rakyat. Karenanya, pernahkah hakikat tersebut terpikirkan oleh para dewan terhormat bahwa Pemilu 2019 telah membuang sebanyak 13 juta suara sah.
Seharusnya, kata Rofiq, Undang-Undang Pemilu didesain dan diuji kematangannya setidak-tidak butuh waktu 15 sampai 20 tahun. Setelah itu baru dilakukan perubahan dengan menyesuaikan kelemahan-kelemahan dari undang-undang tersebut.
"Tidak bongkar pasang seperti ini yang seolah-olah hanya ingin memenuhi hasrat politik partai-partai besar," katanya.
Dengan kondisi demikian, Rofiq mengajak semua pihak untuk belajar dari negara-negara maju, di mana partai diberikan hak untuk mengantarkan kursi yang telah dihasilkan, seberapa pun kursi yang telah didapatkan kader partai yang menjadi calon anggota dewan.
"Jika undang-undang terus dibahas, maka bukan PT (parliamentary threshold) lagi yang menjadi konsennya, undang-undang harus mengakomodir suara sah dengan (sistem) fraction threshold (fraksi threshold). Ini lebih masuk akal dan menjadi hak hak politik rakyat Indonesia," katanya.
"UU pemilu kenapa harus dibahas di setiap 5 tahun. Apakah ini bagian penghabisan anggaran DPR, atau ingin membangun sebuah kartel politik. Bukankah sudah terlalu parah hasil pemilu 2019?," kata Sekjen DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq saat dihubungi SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Rofiq menuturkan, hakikat pemilu itu menghargai suara rakyat. Karenanya, pernahkah hakikat tersebut terpikirkan oleh para dewan terhormat bahwa Pemilu 2019 telah membuang sebanyak 13 juta suara sah.
Seharusnya, kata Rofiq, Undang-Undang Pemilu didesain dan diuji kematangannya setidak-tidak butuh waktu 15 sampai 20 tahun. Setelah itu baru dilakukan perubahan dengan menyesuaikan kelemahan-kelemahan dari undang-undang tersebut.
"Tidak bongkar pasang seperti ini yang seolah-olah hanya ingin memenuhi hasrat politik partai-partai besar," katanya.
Dengan kondisi demikian, Rofiq mengajak semua pihak untuk belajar dari negara-negara maju, di mana partai diberikan hak untuk mengantarkan kursi yang telah dihasilkan, seberapa pun kursi yang telah didapatkan kader partai yang menjadi calon anggota dewan.
"Jika undang-undang terus dibahas, maka bukan PT (parliamentary threshold) lagi yang menjadi konsennya, undang-undang harus mengakomodir suara sah dengan (sistem) fraction threshold (fraksi threshold). Ini lebih masuk akal dan menjadi hak hak politik rakyat Indonesia," katanya.
(abd)
tulis komentar anda