PBNU Minta Penyusunan RPP Jaminan Produk Halal Libatkan Organisasi Keagamaan
Senin, 25 Januari 2021 - 17:43 WIB
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pemerintah sedang menyusun regulasi turunan dari UU Ciptaker. Salah satunya adalah RPP Jaminan Produk Halal (RPP JPH) sebagai perbaikan dari PP Nomor 31 Tahun 2019.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, penyusunan RPP Jaminan Produk Halal harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan melibatkan organisasi-organisasi keagamaan. "Tidak boleh ada organisasi keagamaan yang mempunyai kedudukan diistimewakan dalam proses penyusunan RPP tersebut," katanya, Senin (25/1/2021).
Menurutnya, penyusunan RPP JPH harus diarahkan untuk memperkuat Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), baik terkait dengan otoritas yang dimiliki maupun kelembagaan BPJPH, bukan hanya di pusat tapi juga di daerah. "Hal ini penting untuk mendekatkan pelayanan BPJPH dengan masyarakat dan memastikan pelayanan bisa berlangsung dengan cepat, maksimal 21 hari kerja seperti terdapat dalam UU Ciptaker," tuturnya.
Terkait dengan kewenangan BPJPH melakukan akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan sertifikasi auditor halal sebagaimana diamanatkan dalam UU CK, menurut Rumadi, harus tetap menjadi kewenangan BPJPH. Sebelumnya, kewenangan tersebut diberikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga MUI mempunyai tiga fungsi sekaligus, yaitu melakukan akreditasi LPH, melakukan sertifikasi auditor halal, dan penetapan kehalalan produk. "Dengan UU Ciptaker, kewenangan MUI yaitu penetapan produk halal melalui fatwa. Kewenangan yang lain diberikan kepada kepada BPJPH," katanya.
Dikatakan Rumadi, kewenangan BPJPH terkait akreditasi LPH dan sertifikasi auditor halal penting terus diperkuat dan tidak diserahkan ke MUI. Yakni, mempercepat produksi tenaga auditor halal dan mempercepat berdirinya LPH, menghindari kewenangan ganda yang sarat konflik kepentingan, membingungkan, dan memperpanjang proses sertifikasi auditor halal dan pendirian LPH.
Terkait persyaratan menjadi auditor halal yang hanya diberikan kepada S-1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian, RPP JPH perlu membuka peluang kepada alumni pondok pesantren dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) agar bisa menjadi auditor halal. "Hal ini penting agar alumni pondok pesantren dan PTKI juga mempunyai akses untuk menjadi auditor halal," katanya.
Terkait dengan pendampingan UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal secara gratis, menurut Rumadi, harus dilakukan dengan mudah dan sederhana. "Semua organisasi keagamaan dan perguruan tinggi diberi ruang untuk melakukan pendampingan UMKM," katanya.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, penyusunan RPP Jaminan Produk Halal harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan melibatkan organisasi-organisasi keagamaan. "Tidak boleh ada organisasi keagamaan yang mempunyai kedudukan diistimewakan dalam proses penyusunan RPP tersebut," katanya, Senin (25/1/2021).
Menurutnya, penyusunan RPP JPH harus diarahkan untuk memperkuat Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), baik terkait dengan otoritas yang dimiliki maupun kelembagaan BPJPH, bukan hanya di pusat tapi juga di daerah. "Hal ini penting untuk mendekatkan pelayanan BPJPH dengan masyarakat dan memastikan pelayanan bisa berlangsung dengan cepat, maksimal 21 hari kerja seperti terdapat dalam UU Ciptaker," tuturnya.
Terkait dengan kewenangan BPJPH melakukan akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan sertifikasi auditor halal sebagaimana diamanatkan dalam UU CK, menurut Rumadi, harus tetap menjadi kewenangan BPJPH. Sebelumnya, kewenangan tersebut diberikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga MUI mempunyai tiga fungsi sekaligus, yaitu melakukan akreditasi LPH, melakukan sertifikasi auditor halal, dan penetapan kehalalan produk. "Dengan UU Ciptaker, kewenangan MUI yaitu penetapan produk halal melalui fatwa. Kewenangan yang lain diberikan kepada kepada BPJPH," katanya.
Dikatakan Rumadi, kewenangan BPJPH terkait akreditasi LPH dan sertifikasi auditor halal penting terus diperkuat dan tidak diserahkan ke MUI. Yakni, mempercepat produksi tenaga auditor halal dan mempercepat berdirinya LPH, menghindari kewenangan ganda yang sarat konflik kepentingan, membingungkan, dan memperpanjang proses sertifikasi auditor halal dan pendirian LPH.
Terkait persyaratan menjadi auditor halal yang hanya diberikan kepada S-1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian, RPP JPH perlu membuka peluang kepada alumni pondok pesantren dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) agar bisa menjadi auditor halal. "Hal ini penting agar alumni pondok pesantren dan PTKI juga mempunyai akses untuk menjadi auditor halal," katanya.
Terkait dengan pendampingan UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal secara gratis, menurut Rumadi, harus dilakukan dengan mudah dan sederhana. "Semua organisasi keagamaan dan perguruan tinggi diberi ruang untuk melakukan pendampingan UMKM," katanya.
(cip)
tulis komentar anda