Sabda Pandhita Kampus
Senin, 25 Januari 2021 - 06:10 WIB
Bramastia
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
KEBERADAAN kampus rasanya bukan hanya menjadi ruang belajar semata. Kampus juga bisa menjadi tempat pewarisan serta pembelajaran tentang nilai-nilai budaya. Rakyat memahami keberadaan kampus sebagai tempat kaum intelektual berkumpul. Kampus juga menjadi ruang tempat sebuah kebudayaan intelektual berkembang dengan melakukan kajian dan refleksi terhadap realitas kebudayaan terkini.
Istilah intelektual sering ditujukan kepada semua orang yang menggunakan kecerdasan untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau mempersoalkan dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Dalam istilah yang modern, intelektual adalah orang yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Budaya intelektual dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai, dan diamalkan masyarakat akademik kampus.
Kampus Kritis
Sangat disayangkan tatkala intelektual melakukan kritikan minus kaidah ilmiah. Kritikan yang cenderung bernada hujatan. Mengkritik tajam, tetapi tanpa norma dan etika sebagai pijakannya. Ditambah lagi buah dari imbas polarisasi politik sebelumnya yang membuat kritikan berubah menjadi ketidaksukaan sehingga kritikan lebih punya kesan emosional, sedangkan yang mendapat kritik lebih memandang sebuah kritik sebagai kebencian.
Barangkali kritikan butuh pedoman yang dijadikan sebagai rambu, standar etika atau tata krama bersikap dan berperilaku karena berasal dari lingkungan kampus. Kritikan harus tetap memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika sekaligus mencerminkan warga kampus yang religius, ilmiah, dan terdidik. Jangan sampai kritikan kaum intelektual tidak memiliki nilai dan bobot ilmiah gara-gara terseret dan larut dalam ketidaksukaan.
Kampus mestinya tidak boleh larut dalam polarisasi politik negara. Kampus harus kembali menjadi tempat berkembang serta wadah tumbuh suburnya rasionalitas. Kampus perlu kembali menjadi tempat lahirnya sikap-sikap kritis dengan pijakan analitis dengan pola yang terus-menerus dibiasakan. Sebuah harapan indah ketika kampus di seluruh Tanah Air menjadi tempat tegur-menegur pikiran tanpa mudah terbawa ketersinggungan.
Sungguh indah dan hidup kampus apabila kampus menjadi tempat diskusi atau arena “kritis” kejujuran dan saling menegur sesama cendekiawan. Terbangunnya dialektika kampus akan menghasilkan pikiran maupun gagasan baru, ide baru, dan inovasi baru. Kampus harus membudayakan dan memahamkan makna mengkritik sesungguhnya, yakni mengkritik pikiran. Kritik jangan langsung dinilai sebagai bentuk ketidaksukaan dan kritik pada prinsipnya bukan menilai individu secara subjektif.
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
KEBERADAAN kampus rasanya bukan hanya menjadi ruang belajar semata. Kampus juga bisa menjadi tempat pewarisan serta pembelajaran tentang nilai-nilai budaya. Rakyat memahami keberadaan kampus sebagai tempat kaum intelektual berkumpul. Kampus juga menjadi ruang tempat sebuah kebudayaan intelektual berkembang dengan melakukan kajian dan refleksi terhadap realitas kebudayaan terkini.
Istilah intelektual sering ditujukan kepada semua orang yang menggunakan kecerdasan untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau mempersoalkan dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Dalam istilah yang modern, intelektual adalah orang yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Budaya intelektual dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai, dan diamalkan masyarakat akademik kampus.
Kampus Kritis
Sangat disayangkan tatkala intelektual melakukan kritikan minus kaidah ilmiah. Kritikan yang cenderung bernada hujatan. Mengkritik tajam, tetapi tanpa norma dan etika sebagai pijakannya. Ditambah lagi buah dari imbas polarisasi politik sebelumnya yang membuat kritikan berubah menjadi ketidaksukaan sehingga kritikan lebih punya kesan emosional, sedangkan yang mendapat kritik lebih memandang sebuah kritik sebagai kebencian.
Barangkali kritikan butuh pedoman yang dijadikan sebagai rambu, standar etika atau tata krama bersikap dan berperilaku karena berasal dari lingkungan kampus. Kritikan harus tetap memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika sekaligus mencerminkan warga kampus yang religius, ilmiah, dan terdidik. Jangan sampai kritikan kaum intelektual tidak memiliki nilai dan bobot ilmiah gara-gara terseret dan larut dalam ketidaksukaan.
Kampus mestinya tidak boleh larut dalam polarisasi politik negara. Kampus harus kembali menjadi tempat berkembang serta wadah tumbuh suburnya rasionalitas. Kampus perlu kembali menjadi tempat lahirnya sikap-sikap kritis dengan pijakan analitis dengan pola yang terus-menerus dibiasakan. Sebuah harapan indah ketika kampus di seluruh Tanah Air menjadi tempat tegur-menegur pikiran tanpa mudah terbawa ketersinggungan.
Sungguh indah dan hidup kampus apabila kampus menjadi tempat diskusi atau arena “kritis” kejujuran dan saling menegur sesama cendekiawan. Terbangunnya dialektika kampus akan menghasilkan pikiran maupun gagasan baru, ide baru, dan inovasi baru. Kampus harus membudayakan dan memahamkan makna mengkritik sesungguhnya, yakni mengkritik pikiran. Kritik jangan langsung dinilai sebagai bentuk ketidaksukaan dan kritik pada prinsipnya bukan menilai individu secara subjektif.
tulis komentar anda