Muhammadiyah Pertanyakan Urgensi Perpres Ekstremisme
Minggu, 24 Januari 2021 - 08:03 WIB
JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024 menuai polemik. Sejumlah pihak mengkritisi perpres tersebut, termasuk PP Muhammadiyah .
Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa ekstremisme dan terorisme adalah masalah global yang tidak ada satu negara pun yang tertebas darinya. "Di Indonesia sendiri jumlah ekstremisme cenderung meningkat namun secara kuantitas persentasenya rendah," ungkapnya dikutip MNC Portal Indonesia dari laman muhammadiyah.or.id, Minggu (24/1/2021).
Mu’ti juga mengatakan di Indonesia mayoritas penduduk terdiri dari kelompok moderat yang mendukung Pancasila. Bahkan, hubungan antarumat terjalin dengan baik. Sebagaimana data dari Riset Balitbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan justru hubungan antarumat beragama lebih baik daripada intern agama. "Sehingga muncul banyak pertanyaan tentang urgensi Perpres No. 7 tahun 2021 ini tentang RAN PE," kata Mu’ti.
Mu’ti juga mengkritisi perpres yang berlaku ini seakan dimaksudkan melindungi pejabat dan masyarakat bukan untuk menenteramkan masyarakat. "Yang menjadi pertanyaan apakah dengan adanya perpres ini masyarakat bisa terjamin dan terlindungi? Lalu setelah tahun 2024 apa yang akan terjadi? Jika perpres ini memang dirasa genting," katanya.
Baca juga: Tuai Polemik, Perpres Ekstremisme Perlu Disosialisasikan Lebih Luas dan Jelas
Mu’ti juga mengkhawatirkan dengan adanya pembatasan kebebasan berkeyakinan. Karena, dalam Pasal 1 ayat 2 Perpres No. 7 Tahun 2021 disebutkan, ekstremisme berbasis kebebasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan mendukung atau melakukan terorisme.
"Dilihat dari sisi akademik dan pelaksanaan, definisi tersebut menjadi permasalahan. Kata keyakinan diartikan dengan dimensi dalam dari perbuatan manusia. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak tampak. Sebagian saja dan tindakan seseorang dilandasi keyakinan. Tetapi tidak semua keyakinan itu diekspresikan dengan sikap dan perbuatan. Ada kalanya perbuatan tidak sejalan dengan keyakinan," ungkap Mu’ti.
Sehingga, kata Mu’ti, dalam mengatasi ekstremisme tidak seharusnya diatasi dengan cara-cara yang ekstrem dan pendekatan pre-emptive. Mu’ti mengimbau agar dilakukan dengan cara-cara persuasif, humanis, dan edukatif. “Tentunya juga dengan penegakan hukum dan peniadaan faktor eksternal nonkeyakinan, seperti ketidakadilan sosial, hukum, dan politik yang tidak bisa diabaikan," tegasnya.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa ekstremisme dan terorisme adalah masalah global yang tidak ada satu negara pun yang tertebas darinya. "Di Indonesia sendiri jumlah ekstremisme cenderung meningkat namun secara kuantitas persentasenya rendah," ungkapnya dikutip MNC Portal Indonesia dari laman muhammadiyah.or.id, Minggu (24/1/2021).
Mu’ti juga mengatakan di Indonesia mayoritas penduduk terdiri dari kelompok moderat yang mendukung Pancasila. Bahkan, hubungan antarumat terjalin dengan baik. Sebagaimana data dari Riset Balitbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan justru hubungan antarumat beragama lebih baik daripada intern agama. "Sehingga muncul banyak pertanyaan tentang urgensi Perpres No. 7 tahun 2021 ini tentang RAN PE," kata Mu’ti.
Mu’ti juga mengkritisi perpres yang berlaku ini seakan dimaksudkan melindungi pejabat dan masyarakat bukan untuk menenteramkan masyarakat. "Yang menjadi pertanyaan apakah dengan adanya perpres ini masyarakat bisa terjamin dan terlindungi? Lalu setelah tahun 2024 apa yang akan terjadi? Jika perpres ini memang dirasa genting," katanya.
Baca juga: Tuai Polemik, Perpres Ekstremisme Perlu Disosialisasikan Lebih Luas dan Jelas
Mu’ti juga mengkhawatirkan dengan adanya pembatasan kebebasan berkeyakinan. Karena, dalam Pasal 1 ayat 2 Perpres No. 7 Tahun 2021 disebutkan, ekstremisme berbasis kebebasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan mendukung atau melakukan terorisme.
"Dilihat dari sisi akademik dan pelaksanaan, definisi tersebut menjadi permasalahan. Kata keyakinan diartikan dengan dimensi dalam dari perbuatan manusia. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak tampak. Sebagian saja dan tindakan seseorang dilandasi keyakinan. Tetapi tidak semua keyakinan itu diekspresikan dengan sikap dan perbuatan. Ada kalanya perbuatan tidak sejalan dengan keyakinan," ungkap Mu’ti.
Sehingga, kata Mu’ti, dalam mengatasi ekstremisme tidak seharusnya diatasi dengan cara-cara yang ekstrem dan pendekatan pre-emptive. Mu’ti mengimbau agar dilakukan dengan cara-cara persuasif, humanis, dan edukatif. “Tentunya juga dengan penegakan hukum dan peniadaan faktor eksternal nonkeyakinan, seperti ketidakadilan sosial, hukum, dan politik yang tidak bisa diabaikan," tegasnya.
(zik)
tulis komentar anda