Moeldoko Sudah Menduga Perpres Ekstrimisme Bakal Dicurigai
Rabu, 20 Januari 2021 - 18:18 WIB
JAKARTA - Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko memberikan penjelasan terkait penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No.7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme. Dia pun sudah menduga bahwa terbitnya kebijakan ini pasti akan diikuti dengan berbagai kecurigaan. “Mungkin ada berbagai pihak yang curiga macam-macam,” katanya di kantornya, Rabu (20/1/2021).
Dia mengatakan bahwa semua pihak harus rasional terkait dengan kebijakan ini. Dia menyebutkan bahwa kebijakan ini keluar karena rasio kecukupan antara jumlah aparat kepolisian dengan jumlah penduduk masih sangat kecil.
“Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500 kurang lebih masyarakat. Padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50,” ungkapnya.
(Baca: Perpres Pemolisian Masyarakat Berpotensi Timbulkan Konflik Horizontal)
Pertimbangan lainnya adalah bahwa ini merupakan sebagai langkah kewaspadaan. Dia menyebut bahwa pasca reformasi memang tidak banyak orang yang berani bicara kewaspadaan karena akan dicap tidak reformis dan Orde Baru.
“Begitu kita bicara kewaspadaan takut dicap nggak reformis, dicap orde baru, dan seterusnya. Padahal kewaspadaan itu menjadi sangat penting ya. Karena kalau kita tidak waspada kita menjadi bangsa yang teledor, lalai. Kita ada ancaman, karena kita tidak waspada, ya tenang-tenang saja,” ujarnya.
Mantan Panglima TNI ini juga mengatakan bahwa persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat tidak hanya bisa ditangani oleh aparat kepolisian, pemerintah pusat maupun pemda. Menurutnya perlu pelibatan seluruh masyarakat Indonesia.
“Sifatnya adalah pemberdayaan. Itu saya pikir bagian dari demokrasi ya. Bagaimana mengelola masyarakat itu untuk terlibat di dalam mengelola situasi,” ungkapnya.
(Baca: Deforestasi Disebut Penyebab Banjir Kalsel, Moeldoko: Presiden Jokowi Tak Obral Izin)
Dia mengatakan bahwa semua pihak harus rasional terkait dengan kebijakan ini. Dia menyebutkan bahwa kebijakan ini keluar karena rasio kecukupan antara jumlah aparat kepolisian dengan jumlah penduduk masih sangat kecil.
“Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500 kurang lebih masyarakat. Padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50,” ungkapnya.
(Baca: Perpres Pemolisian Masyarakat Berpotensi Timbulkan Konflik Horizontal)
Pertimbangan lainnya adalah bahwa ini merupakan sebagai langkah kewaspadaan. Dia menyebut bahwa pasca reformasi memang tidak banyak orang yang berani bicara kewaspadaan karena akan dicap tidak reformis dan Orde Baru.
“Begitu kita bicara kewaspadaan takut dicap nggak reformis, dicap orde baru, dan seterusnya. Padahal kewaspadaan itu menjadi sangat penting ya. Karena kalau kita tidak waspada kita menjadi bangsa yang teledor, lalai. Kita ada ancaman, karena kita tidak waspada, ya tenang-tenang saja,” ujarnya.
Mantan Panglima TNI ini juga mengatakan bahwa persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat tidak hanya bisa ditangani oleh aparat kepolisian, pemerintah pusat maupun pemda. Menurutnya perlu pelibatan seluruh masyarakat Indonesia.
“Sifatnya adalah pemberdayaan. Itu saya pikir bagian dari demokrasi ya. Bagaimana mengelola masyarakat itu untuk terlibat di dalam mengelola situasi,” ungkapnya.
(Baca: Deforestasi Disebut Penyebab Banjir Kalsel, Moeldoko: Presiden Jokowi Tak Obral Izin)
Lihat Juga :
tulis komentar anda